Banyak aktivitas sehari-hari yang menuntut kita dan anak-anak untuk bersikap hening. Seperti saat kita menjalankan salat, berdoa seusai salat, mendengarkan pembicaraan orang lain dan lain-lain. Namun dengan banyaknya aktifitas hening tersebut, kita harus mengakui bahwa kita belum banyak mengajarkan kepada anak-anak sesuatu tentang keheningan. Kecuali hanya menegur anak-anak tersebut saat ramai ketika belajar di kelas atau gaduh ketika menjalankan salat jamaah di masjid.
Akhirnya keheningan sering dipandang oleh anak-anak sebagai sesuatu yang tidak dapat dinikmati, tetapi hanyalah sebagai sebuah kewajiban untuk mematuhi permintaan orang dewasa untuk tidak gaduh saat belajar dan beribadah. Fokus kita lebih banyak pada ungkapan “tidak gaduh” daripada ungkapan “keheningan”.
Padahal dengan mengajarkan kepada anak tentang keheningan secara benar maka sebenarnya banyak manfaat yang akan mereka peroleh di kemudian hari, di antaranya;
Pertama, mendidik anak untuk menikmati keheningan sebenarnya membantu anak untuk meningkatkan konsentrasinya saat menyimak dan mendengarkan penjelasan guru maupun orang tua. Kita sering mendengar keluhan para guru tentang betapa ramainya kelas dengan suara bising anak. Kita melupakan hal yang lebih penting, mereka melakukan kegaduhan tersebut, karena mereka belum dilatih untuk menikmati keheningan.
Kedua, melatih anak untuk menikmati keheningan sama dengan mengajarkan mereka untuk menjadi pendengar yang baik. Seorang pendengar yang baik adalah mereka yang telah terlatih dengan baik bagaimana menikmati keheningan. Cukuplah bagi mereka satu suara dari lawan bicaranya yang terdengar, sementara dirinya fokus pada isi pembicaraannya. Sebaliknya anak yang belum terlatih, tetap merasa nyaman walaupun semua mulut secara bersama-sama mengeluarkan kata-kata.
Ketiga, saat kita sudah terbiasa untuk hening, maka akan mudah bagi kita untuk bersikap khusyuk saat menjalankan salat atau saat memanjatkan doa. Sebaliknya saat kita terbiasa merasakan kegaduhan, maka alangkah tidak nikmatnya menjalani kekshusyukan saat beribadah.
Keempat, di saat seseorang tengah menikmati keheningan, maka akan lebih mudah baginya untuk melakukan introspeksi dan evaluasi ke dalam diri. Di sinilah Ia akan terbiasa untuk melakukan olah rasa dan bukan hanya olah fikir dan olah raga saja. Saya yakin kita pun juga menghendaki anak-anak yang juga punya rasa yang lebih tinggi.<Dimuat di Majalah Hadila Edisi Februari 2015>