Hadila.co.id — Jelang hari lahir, yang sering terbayang adalah wajah Umak terkasih. Hari lahir, bagi saya hari khusus Umak. Umak yang melahirkan saya tanpa suami karena sedang dinas luar kota. Umak yang hanya dibantu dukun beranak. Umak yang harus segera kuat karena tak punya ibu yang akan merawatnya di masa lemah itu. Umak yang sudah tiada 10 tahun lalu.
Ah, sebenarnya sebulan ini pun saya banyak mengingat Umak. Semenjak terjadi berbagai kasus kekerasan pada perempuan, memori akan Umak berputar berulang-ulang. Ini karena saya dipaksa kembali ke masa lalu, berpikir keras, apa kira-kira alasan Allah untuk “menyelamatkan” masa remaja saya?
Saya tidak pernah pacaran, tidak pernah merokok ataupun menggunakan obat terlarang. Di sekitar, ada saja remaja putri yang married by accident, alias sudah tek dung. Ada saja yang merokok diam-diam. Ndilalah, kemudian saya tahu, banyak juga yang minum alkohol.
Apa yang menyebabkan Allah menurunkan perlindunganNya? Toh, kami satu zaman, satu masa. Saya sangat mungkin menjadi salah satu yang tek dung itu.
Ingatan yang sangat berbekas ialah Umak yang membaca Alquran sehabis Subuh dan Magrib. Selain itu, Umak penolong dan murah hati. Di kampung dulu, ada tiga orang yang dikenal agak ‘kurang akal’. Ketiganya pernah tinggal di rumah. Ada yang lama, ada yang hanya beberapa hari lalu dijemput keluarga mereka.
Di Padang, rumah juga selalu ramai, terutama jam makan. Ada saja mahasiswa asal satu kampung yang bertandang (dan ikut makan) ke rumah. Walaupun keluarga kadang juga sulit dari sisi ekonomi, Umak selalu membuka lemari makannya untuk siapa saja yang bertandang.
Umak juga ibu banyak bayi di kompleks kami. Setiap beberapa tahun, ada saja bayi usia tiga bulanan yang kemudian menjadi bayi Umak pagi hari saat ibu mereka masuk kantor. Dulu saya tidak terlalu peduli. Umak nampak senang saja. Keluarga kami toh tidak terabaikan dengan hadirnya bayi titipan itu.
Baru setelah menjadi ibu, saya sadar hati Umak bukan sembarang hati. Lapang sekali. Tidak mudah menjadi “ibu” bagi bayi sekecil itu. Tak digaji pula.
Menghitung kebaikan Umak semasa hidup, saya sadar, perlindungan Allah itu pintunya amal kebaikan almarhumah.
Jelang hari lahir ini, yang jadi tanya adalah, “Apakah amal saya pantas menjadi pintu perlindungan Allah untuk keluarga saya? Empat anak saya?” [Oleh: Maimon Herawati, Penulis & Dosen Universitas Padjadjaran Bandung. Sumber: Majalah Hadila Edisi Juni 2014]