Hadila.co.id — Menjadi ibu adalah fitrah bagi setiap wanita yang cukup menantang, karena seorang ibu dituntut untuk cerdas dan bermental kuat. Begitu menurut Ustazah Ulfah Husniah Wahyuni, S.Ag. Berikut wawancara lengkap kami dengan ibu tiga putra yang aktif sebagai pengurus Aisiyah Kota Surakarta tersebut.
Ibu adalah peran fitrah yang disandang oleh wanita. Bagaimana Islam bicara tentang hal ini?
Dalam konteks keluarga sudah jelas. Bahwa wanita mendapatkan kemuliaan. Salah satunya dengan bisa melahirkan anak, sehingga dia disebut sebagai seorang ibu. Dengan demikian otomatis dia adalah center (pusat) dari anak-anak. Perannya pun menjadi berlanjut pada mendidik anak. Dimana diistilahkan bahwa Al ummi madrasatul ula, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.
Di masa awal seorang wanita menjadi ibu atau memiliki anak, banyak yang terkaget-kaget. Istilahnya, jatuh bangun melaksanakan peran baru itu. Bagaimana hal ini menurut Ustazah?
Ya, di awal mungkin cukup berat bagi beberapa orang. Namun sebenarnya di setiap tahapan selanjutnya pun akan ada sisi beratnya. Karenanya, seorang wanita (ibu) perlu membekali diri.
Pertama, kuat secara mental dan spiritual, karena dia yang akan ‘menegakkan’ kehidupan dan agama anak-anaknya. Memiliki prinsip kuat yang mendasari semua pola asuhnya, mengingat ‘tugas’ fitrah ini sangatlah berat. Satu firman Allah berikut adalah pegangan dan rambu-rambu dalam mengelola keluarga, “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, yang keras, yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” [Q.S. At-Tahrim: 6]
Secara tersirat, ayat tersebut juga mengingatkan untuk senantiasa meningkatkan kapasitas diri dalam kata ‘dirimu’ sebelum berperan pada ‘keluargamu’. Sesuai dengan sebuah ungkapan, “jika ingin membangun rumah, maka bangun dulu ibunya.”
Kedua, sebagai pendidik ibu harus cerdas dalam berbagai hal, cerdas secara manajerial, juga strategis dalam mengatur keluarga khususnya anak-anak. Juga mampu memberikan keteladanan, karena pola asuh yang baik adalah keteladanan. Anak akan selalu melihat kemudian mengingat apa yang dilakukan ibunya.
Ketiga, bertawakal kepada Allah. ‘Gondelane mung Allah’, bergantung hanya pada Allah. Karena pada dasarnya seorang ibu itu belajar dari pengalaman (learning by doing). Kadang juga meraba-raba. Apalagi seorang ibu ‘baru’. Namun jika dia cerdas, bisa cepat mempelajari yang bersifat keterampilan (skill). Jika mentalnya kuat, biasanya bisa lebih tenang menghadapi apapun. Terlebih yang di masa bujangnya terbiasa atau terdidik mandiri. Untuk hal selebihnya, kita butuh Allah.
Selanjutnya, tinggal masalah kebiasaan dan pembiasaan saja. Juga sharing dan support dengan pasangan atau orang-orang terdekat. Sehingga semua proses ‘menjadi ibu’ lebih mudah dan tidak sampai membuat galau. Hampir semua mengalami itu. Tinggal bagaimana kita fight (berusaha maksimal).
Menjadi ibu, di satu sisi berat namun di sisi lain adalah anugerah. Dimana sisi anugerahnya?
Saat kita bisa melaksanakan peran kita sebagai orangtua meski dengan segala susah payah dan pengorbanan, kemudian anak tumbuh dengan baik dan menjadi saleh/salihah, di situ letak kebahagiaan kita. Di situ kemudian anugerah itu mewujud, melalui dua sumber kebaikan. Kebaikan kita dan kebaikan anak kita. Padahal setiap kebaikan pasti ada pahalanya. Kebaikan sebesar dzarrah pun ada nilainya. Bagi seorang ibu, dengan segala jatuh bangunnya, tentu luar biasa pahalanya. Belum lagi jika memiliki anak yang saleh.
Apa yang perlu dijadikan motivasi bagi ibu dalam menjalani perannya, terlebih bagi ibu ‘baru’?
Pokoknya lakukan yang terbaik. Yakin bisa. Tidak perlu pakai rumus rumit. Cukup keyakinan bahwa segala kebaikan berupa segala bentuk upaya, tanggung jawab, keikhlasan, pengorbananan dan pengasuhan yang baik yang telah diusahakan dengan maksimal itu akan berbuah manis. Bukankah Allah berfirman bahwa segala kebaikan yang kita lakukan itu sesungguhnya untuk kita sendiri. Apalagi bagi seorang ibu ‘baru’, tawakal dan berharap pertolongan Allah itu harus. Maka lakukan ‘kebaikan’ itu tulus dan maksimal. Saat Allah melihat kesungguhan dan ketulusan, maka pertolongan dan kemudahan dari arah yang tiada disangka-sangka (la yahtasib) akan datang. []