Hadila.co.id — Gerbong wanita Kereta Prameks sore itu cukup sesak, sehingga aku harus hati-hati menjaga langkah dan perut buncit dengan janin 8 bulanku. Dia tersenyum menyapa lalu menggeser duduknya agar aku bisa duduk di sebelahnya, meski empet-empetan. Pemilik senyum cerah itu, sebut saja Rina, dosen sebuah universitas swasta di Solo. Awalnya sekadar mengomentari kehamilanku, obrolan kami dimulai. “Dulu pas anak kedua saya juga sudah nglajo. Tapi karena tak bawa enak yo enak aja. Lebih berat anak pertama, soalnya sedang sakit,” awal dia berkisah.
Rina pernah sakit kejiwaan. Saat itu dia tengah menempuh S2 di sebuah universitas negeri di Jawa Timur. Aku tak begitu paham sakitnya, yang pasti dia mengalami depresi akut. Selain keluhan fisik, insomnia; dia juga menarik diri dari lingkungan, merasakan perasaan-perasaan tak terdefinisi, marah, dan minder teramat sangat, halusinasi seolah orang-orang di sekitarnya mencaci atau membicarakan keburukannya, dan lain-lain.
Segala pengobatan ditempuh, dari medis hingga ke rukiah. Pengobatan medis membuatnya seolah bergantung pada obat-obat anti depresan. Karena tak kunjung membaik, keluarga membawanya pulang dengan harapan lebih bisa ’menjaga’nya.
Singkat cerita, dia pun pasrah kepada Allah dan sadar untuk semangat ‘menjalani’ hidup. Dia putuskan untuk segera menikah. Siapa pun laki-laki yang meminang, asal muslim dan mau menerimanya apa adanya, maka dia bersedia. Dukungan keluarga yang mencoba mengenalkannya dengan beberapa orang, akhirnya mempertemukannya dengan laki-laki yang kini menjadi suaminya.
Setelah menikah, keluhan masih sering muncul. Namun, lebih ringan dia jalani didampingi suami. Tak lama dia pun hamil. Dokter memberi opsi untuk menggugurkan kandungan, agar pengobatan bisa berlanjut. Obat-obat anti-depresan berbahaya bagi janin, padahal harus tetap dia konsumsi jika ingin sembuh. Entah mendapat energi dari mana dia memilih janinnya dan tidak mengonsumsi obat. Karena keputusan itu, dia harus menanggung risiko mengalami segala keluhan dengan intensitas lebih.
“Menjadi ibu adalah anugerah istimewa. Maka aku berjuang. Alhamdulillah, anakku lahir sehat. Ajaibnya, tanpa obat, keluhanku berkurang, bahkan lambat laun sembuh. Sungguh pertolongan dari Allah. Semua kusyukuri hingga kini. Pernikahan, suami, anak-anak, kesibukan, bahkan juga sakitku kala itu,” tuturnya menutup obralan sesampainya di Stasiun Lempuyangan.
Kami berpisah. Kupandangi ibu yang sedang menyelesaikan transfer S2-nya yang tertunda itu. Ibu yang kepasrahan, kesyukuran, dan perjuangannya telah menginspirasiku. Menginspirasiku, seorang ibu muda yang tengah belajar menikmati peran baru ini dengan segala tanggung jawab dan tuntutan pengorbanannya di antara peran-peran lain. Dengan kepasrahan, kesyukuran, dan tanpa keluhan. Rina bisa, wanita lain bisa, aku pun pasti bisa. [Oleh: Bunda Hafidz, Bantul, DIY]