Sumber gambar: mediaindia.eu
Hadila.co.id — Ada hal menarik yang membedakan Indonesia dan bangsa lain. Jika seseorang ditanya, jika sudah pensiun akan tinggal di mana, banyak yang menjawab, kembali ke tanah kelahiran (biasanya desa). Tinggal di sekitar keluarga besar. Mengolah tanah warisan. Menikmati hidup tua dari pensiunan.
Dari jawaban di atas, ada beberapa hal yang terbaca. Kembali ke tanah kelahiran, bangsa Indonesia merindukan suasana paling akrab dengan mereka. Mereka juga mengharapkan hidup bersama keluarga besar, saling mendukung dan membantu. Mengolah tanah warisan sebagai kegiatan selingan, pagi sebelum minum kopi (atau teh) dan makan pisang goreng. Biaya utama kehidupan disandarkan dari pensiunan. Wajar jika menjadi PNS sesuatu yang didamba karena ada jaminan uang pensiunan di sana.
Kakek saya mengajak saya berpikir lebih dalam tentang ini. “Kakek tidak bersedia ditempatkan sebagai manusia santai dan tidak produktif setelah pensiun,” ungkapnya.
Apa yang salah dengan itu? Saya pikir, setelah lelah berkarier, istirahat di masa tua, sah saja.
Kakek mengajak saya berhitung. Lulusan SMA, pensiun sebagai PNS pada usia 55 tahun. Lulusan SMP lebih muda lagi. Sedangkan usia harapan hidup di Indonesia rata-rata70 tahun.
Kembali ke tanah kelahiran, bangsa Indonesia merindukan suasana paling akrab dengan mereka. Mereka juga mengharapkan hidup bersama keluarga besar, saling mendukung dan membantu.
“Jadi, masa selama 15 tahun akan dilalui dengan hidup santai seperti itu?” tanya Kakek. “Jangan lupa, penyakit lebih mudah menghinggapi orang tua santai daripada orang aktif,” lanjut Kakek. Padahal terapi sakit diabetes, darah tinggi, dan penyakit terkait usia lainnya, salah satunya adalah bergaya hidup aktif. Misal jalan kaki pagi hari, berkebun ringan, dan sebagainya.
Kakek juga tetap ingin memberikan kontribusi pada kehidupan masyarakat walau secara kenegaraan sudah ‘diapkirkan’. “Tidak akan mungkin pensiunan mampu membiayai kegiatan masjid, misalnya, jika hanya mengandalkan uang pensiunan yang hanya cukup untuk makan itu,” tambahnya. Iya juga.
Kakek memiliki beberapa hektar kebun cengkih dan kelapa. Secara rutin Kakek turun langsung merawat dan memanen kebun itu. Kakek juga melanjutkan klinik bidan Nenek yang juga sudah pensiun, dengan meluaskan usaha klinik di rumah luasnya. Ada praktik dokter terpadu dengan apotek. Salah satu dokter yang praktik di sana putrinya.
“Sambil memberikan peluang usaha pada bibimu. Juga sambil bantu mengasuh cucu-cucu kecil itu,” kakek terkekeh.
Iya, jika berkunjung kepada kakek, terasa sekali energi tak pernah habis itu. Uang saku yang diselipkan setiap berkunjung tentu saja selalu di atas rata-rata jumlahnya. Belum lagi hubungan telepon jarak jauh yang dilakukan kakek tajir ini. Sehat selalu ya, Kek Nawi.
[Oleh: Maimon Herawati | Dosen Universitas Padjadjaran Bandung | Dimuat Hadila Edisi Oktober 2014]