Hadila.co.id – Menjadi tua, memang tidak bisa dicegah. Penurunan kekuatan tubuh, fungsi organ, daya ingat, dan keterbatasan lain membuat perusahaan atau instansi menetapkan batasan usia bekerja yang kemudian disebut usia pensiun. Batasan usia inilah yang kemudian men-general usia tersebut pada setiap orang sebagai saatnya pensiun.
Kosakata pensiun terlanjur lekat di benak kita sebagai berhenti bekerja. Memasuki usia pensiun dimaknai dengan bersantai; tidak lagi ada aktivitas berarti, tidak pula menjadi orang ‘penting’ di masyarakat, berhenti berkarya dan menikmati hasil kerja sebelumnya (pensiunan). Sehingga yang tertinggal di usia pensiun, bukan spirit bekerjanya melainkan post power syndrome. Bukan membangun ‘karir kedua’, misalnya, melainkan muncul sikap-sikap emosional sebagai akibat ‘kehilangan’ penghormatan ataupun wewenang yang dimiliki sebelumnya. Tentu ini tidak tepat.
Pensiun Bukan Mati
Pernah menonton film berjudul Taken? Film menarik tentang Bryan Mills, seorang mantan agen inteligen pemerintah yang pensiun demi bisa dekat dengan anaknya yang sudah remaja. Diceritakan disitu ketika Bryan pensiun, bukan berarti jati dirinya sebagai seorang yang memiliki keahlian khusus kemudian hilang. Bahkan akhirnya dia menggunakan keahlian khusus itu untuk menyelamatkan banyak orang, terutama anaknya. Salah satu kalimatnya yang menarik yaitu, “Aku pensiun, bukan mati”.
Terlepas dari inti cerita film di atas, ungkapan ‘pensiun bukan mati’ menggambarkan bahwa pensiun atau memasuki usia pensiun, bukan berarti berakhirnya karya. Pensiun itu, kalau boleh diungkapkan dengan cara yang lain, hanyalah ‘sekadar’ pensiun. Melewati tahapan usia tertentu, menuntaskan sebuah amanah menuju amanah berikutnya.
‘Pensiun, bukan mati’ menyiratkan bahwa produktivitas seharusnyalah hanya dibatasi oleh kematian, saat manusia telah tidak bisa berbuat apa-apa. Usia, difabilitas, bahkan sakit pun, bukan batasan manusia untuk tidak produktif.
Produktif di Usia Pensiun
Islam tidak pernah mengenal kata pensiun. Pensiun hanya ada dalam paradigma pegawai. Bagi yang berpikir bahwa bekerja adalah sekadar mendapatkan upah, sekadar keharusan, atau bahkan beban, maka pensiun adalah keniscayaan pahit dan bertumpuknya lelah. Tapi bagi mereka yang bekerja untuk ‘tujuan penciptaannya’, untuk hidup melayani orang lain dan pencipta-Nya, bukan sekadar mencari duit, tidak akan pernah mengenal pensiun.
Bagi orang semacam ini, memasuki usia pensiun, kehidupannya malah semakin sibuk. Karena ia paham tujuan hidup dan hukum sebab akibat. Bahwa setiap apa yang dilakukannya pasti ada pertanggungjawaban, termasuk dengan waktunya. Begitupun bahwa semua kebaikan dalam aktivitas produktifnya pasti akan mendapatkan balasan yang sebanding, baik di dunia maupun di kehidupan selanjutnya.
Bisa kita jumpai orang-orang besar dalam sejarah Islam, tetap bekerja, beraktivitas hingga penghujung usia. Bahkan menghasilkan karya yang usia kemanfaatannya melebihi usianya.
Kehidupan Rasulullah Saw, jelas menggambarkan hal ini. Pada usia 53 tahun Rasulullah harus melakukan perjalanan mulia, hijrah ke Kota Madinah. Menempuh padang pasir kurang lebih 15 hari di tengah ancaman kematian, dimana kepala beliau dihargai 100 ekor unta. Pada usia 55 tahun Rasulullah Saw mendapatkan perintah baru yang memerlukan kekuatan fisik, otak dan tekad, yaitu jihad (perang). Jika dirata-rata, beliau harus keluar untuk perang setiap 4 bulan sekali. Ada 28 kali peperangan dari tahun 2H–9H. Pada usia 60 tahun Rasulullah Saw masih harus menjalani perjalanan jauh untuk melanjutkan dakwah beliau, menjalani 3 peperangan; Fath Makkah, Hunain, dan Thaif.
Hingga pada detik-detik terakhir beliau wafat, beliau masih produktif. Dari 14 hari beliau sakit kepala dan demam tinggi hingga beberapa kali pingsan, beliau masih mampu memimpin para sahabatnya salat berjamaah selama 11 hari. Membebaskan beberapa budak, sedekah sebesar 7 dinar (mata uang emas) dan menghibahkan senjata-senjata beliau. Kemudian masih memberikan tausiahnya kepada para sahabatnya. Pada Subuh terakhir, beliau masih bangun pagi, membuka sitar, melemparkan senyum manis dan menyaksikan para sahabatnya Salat Subuh berjamaah.
Sungguh inilah sebaik-baik teladan; produktivitas usia yang tak pernah mengenal pensiun. Hingga hembusan nafas terakhir Rasulullah Saw di usia 63 tahun. Menghadap Allah pada Senin waktu duha, 12 Rabi’ul Awwal 11 H.
Sejahtera Bermartabat di Usia Pensiun
Masih banyak kesempatan untuk melakukan kegiatan produktif, meski di usia pensiun. Daripada membuang waktu untuk sesuatu yang tak bermakna, misalnya hanya tidur-tiduran saja atau duduk di kursi goyang seharian. Apalagi jika semangat bekerja sudah terkondisi sedari muda. Karena dengan tetap bekerja (apapun bentuk dan aktivitasnya), ada banyak hal yang bisa kita dapatkan.
Dengan tetap bekerja, kita dapat mencapai kesejahteraan. Sejahtera dalam pengertian yang lebih dalam. Bukan sejahtera karena semata masih berambisi mengejar karier atau uang, melainkan lebih pada usaha untuk membuka pintu-pintu kebahagiaan lain yang sifatnya lebih personal, psikologis dan spiritual. Beberapa orang yang sukses di masa kerjanya dan telah mapan masih tetap produktif di masa pensiunnya, bahkan membangun ‘karier kedua’.
Semua dilakukan untuk mendukung aktualisasi diri sebagai pribadi dengan segala hobi dan passion. Memberi kontribusi dan manfaat bagi orang lain sebagai bagian dari masyarakat. Melaksanakan peran dan membangun hubungan hangat dengan orang-orang tercinta sebagai bagian dari keluarga (kakek-nenek). Kemudian, mencapai kedudukan yang baik sebagai hamba yang memiliki tugas pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain, tetap produktif berarti memberi makna dan nilai pada hidup. Ini adalah sebuah kebahagiaan tersendiri.
Bekerja, membuat hidup lebih bermartabat. Tidak akan pernah ada istilah ‘pengangguran terselubung’ yang ‘membebani’. Yang ada adalah pribadi-pribadi yang bahkan bisa memberikan solusi bagi orang lain dengan kemandirian finansial maupun aktivitas produktifnya. Ini adalah kebahagiaan selanjutnya.
Dengan tetap bekerja, diri menjadi lebih muda, sehat dan stabil secara psikologis. Kegiatan yang bisa merangsang aktivitas fisik dan mental dapat menghindarkan diri dari penyakit demensia (pikun), atau yang lebih berbahaya yaitu alzheimer. Mereka yang tetap aktif dan produktif, menikmati kesehatan yang lebih baik daripada yang tidak beraktifitas lagi di usia pensiun.
Tetap produktif di usia pensiun pada prinsipnya adalah amal, ibadah. Memberi ‘bobot’ pada usia, memperbanyak catatan kebaikan. Pun tidak menafikan sisi kebahagiaan, jika bekerja itu bisa dilakukan dengan passion dan suka cita.
Usia bukan batas seseorang untuk berkarya. Batasnya adalah kalau seseorang tersebut berpikir bahwa usia membatasinya. “Saya melihat apa yang membuat orang tetap muda: bekerja!”(Ted Turner, Founder CNN). Dimuat di Majalah Hadila Edisi Oktober 2014>