Islamophobia (anti-Islam) yang menyebar di Negeri Paman Sam, Amerika Serikat (AS), tak menyurutkan niat seorang pemuda di sana untuk terus belajar tentang Islam. Sawyer Martin French, seorang warga AS yang saat ini telah memeluk agama Islam. Berikut kisah mualaf asal Amerika Serikat itu.
Saat itu, Martin sedang menempuh pendidikan di The George Washington University, Jurusan Studi Timur Tengah. Dari sana, pemuda 23 tahun tersebut mulai tertarik dengan Islam. “Saya mempelajari banyak hal pada saat kuliah di Jurusan Studi Timur Tengah. Salah satunya adalah tentang Islam. Selain itu, saya juga melihat begitu banyak hal yang bisa saya teladani dari teman-teman muslim saya, sehingga saya tertarik dengan Islam,” ungkap Martin yang fasih berbahasa Indonesia dalam acara Seminar Internasional bertajuk The Development of Islam and Culture in USA and Communist States di Aula Sekolah Tinggi Islam Al-Mukmin (STIM) Surakarta, beberapa waktu lalu.
Lebih lanjut Martin memaparkan soal kebiasaan umat muslim yang gemar bersedekah, suka menjadi aktivis pada berbagai kegiatan, murah senyum, serta selalu memperjuangkan keadilan menjadi poin penting yang membuat pemuda kelahiran Pennsylvania, 21 Oktober 1994 tersebut kian mantap untuk membuka hati dengan Islam. Menurutnya, poin-poin tersebut tidak dia temui dalam kepribadian kebanyakan teman-temannya yang non-Islam.
Setelah resmi masuk Islam, awalnya Martin merasa sedikit sungkan untuk menceritakan ‘perubahan’ yang dia pilih kepada keluarga dan teman-temannya.
“Saya tidak langsung menceritakan kepada keluarga dan teman-teman bahwa saya telah menjadi muslim, bukan karena takut, tetapi memang ada sedikit rasa malu,” jelas Martin. Hal tersebut disebabkan lantaran masih banyak orang AS yang menganggap Islam sebagai suatu kelompok yang buruk.
Hingga saat ini, lanjut Martin, sebagian besar warga AS memang tidak memahami Islam secara komprehensif, mereka hanya mengetahui Islam dari pemberitaan media massa yang cenderung mendiskreditkan Islam. Misalnya, berita terkait pengeboman di World Trade Center (WTC) New York, 11 September 2001 yang lalu.
Beruntung apa yang Martin khawatirkan atas keluarga dan teman-temannya tidak terjadi. Saat dirinya mengaku telah menjadi pemeluk Islam, keluarga dan teman-temannya dapat menerima dengan baik. “Alhamdulillah keluarga saya memberikan respons yang baik, mereka sangat terbuka dengan pilihan saya,” tuturnya.
Selanjutnya, dalam menjalani aktivitas sebagai seorang mualaf, Martin mengaku tak mendapat banyak tantangan. Dia tak pernah mendapat perlakuan kurang menyenangkan hanya karena telah menjadi muslim. “Alhamdulillah di daerah tempat tinggal saya toleransinya sangat baik. Apalagi dengan penampilan saya yang seperti ini (penampilan selayaknya warga AS pada umumnya, berkulit putih—red). Kalau yang agak susah itu perempuan, muslimah yang berjilbab kadang masih dipandang sebagai sosok mencurigakan,” jelas pemuda asal Kota Philadelphia, Pennsylvania, AS tersebut.
Setelah memeluk Islam, Martin banyak melakukan kunjungan ke beberapa negara yang penduduknya mayoritas memeluk agama Islam, salah satunya Indonesia. Bahkan, saat ini, Martin tengah menempuh studi lanjut di Pascasarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta dengan mengambil Jurusan Studi Gender dan Islam. “Saya merasa penduduk Indonesia sangat ramah, dan mereka masih senang untuk tinggal di negerinya sendiri. Kalau di beberapa negara lain yang saya kunjungi, banyak warganya yang bertanya terkait pekerjaan dan pengurusan visa di negara asal saya, seolah mereka itu ingin pergi meninggalkan negaranya. Di Indonesia tidak begitu,” kata Martin.
Selama sekitar 3 tahun berada di Indonesia, Martin pun mendapat berbagai pengalaman berkesan. Selain mempelajari Islam secara lebih mendalam, dia juga belajar berbagai kebudayaan Indonesia. Martin pernah mengunjungi dan tinggal selama beberapa saat di Aceh, dan dia mengaku kagum dengan kehidupan Islam di sana. “Umat Islam di Indonesia menurut saya sudah cukup peduli dengan apa yang dipedulikan Tuhan. Jadi, kalau umat Islam itu hanya sekadar berbicara soal dia salat atau tidak, tetapi tidak peduli dengan masyarakat yang hidup dalam kemiskinan, saya rasa Islamnya itu hanya Islam pribadi, belum membawa nilai-nilai Ilahi,” ungkapnya. <Ibnu Majah/Dimuat di Majalah Hadila Edisi Januari 2018>