7 Pilar Pengasuhan Anak di Era Digital Ala Elly Risman

7 Pilar Pengasuhan Anak di Era Digital Ala Elly Risman
Elly Risman menyampaikan materi tentang 7 Pilar Pengasuhan Anak saat mengisi seminar parenting yang digelar Al Azhar Syifa Budi, Solo, di Hotel Harris Solo, Sabtu (2/2). Acara itu dihadiri sekitar 500 orang dari berbagai kalangan.

Hadila.co.id – Ada tujuh (7) pilar pengasuhan anak agar tangguh di era digital yang disampaikan pakar parenting nasional, Elly Risman, saat mengisi seminar parenting yang digelar Al Azhar Syifa Budi, Solo, di Hotel Harris Solo, Sabtu (2/2). Acara itu dihadiri sekitar 500 orang dari berbagai kalangan.

Pertama, kesiapan menjadi orang tua. Hal itu dimulai dengan mengenal lebih jauh pasangan, mengetahui bagaimana pola pengasuhan pasangan. Selanjutnya menyelesaikan innerchild yang mempengaruhi seluruh peran dan cara mengasuh anak. Elly  mengatakan banyak orang tua masa kini yang mengasuh anak dengan mengadopsi bagaimana cara dia diasuh orang tuanya. Padahal tidak semua pola pengasuhan orang tua terdahulu itu baik.

“Jika mungkin ada di antara kita yang dulu dididik dengan cara kasar, sering dikata-katain yang tidak baik, dicap jelek, mari maafkan orang tua kita. Maafkan beliau yang mungkin dulu belum tahu ilmunya. Ayolah, hentikan mata rantai pengasuhan anak yang salah. Kini, kita asuh anak kita dengan cara yang baik,” ujarnya.

Elly meminta para orang tua bertekad untuk lebih baik dalam pengasuhan anak. Pahami cara kerja otak yang berbeda antara anak laki-laki dan perempuan. Perbaiki peran dan tanggung jawab sebagai suami istri dan sebagai ayah ibu.

Kedua, dual parenting/mengasuh berdua. Ayah dan ibu adalah lelaki dan perempuan pilihan Allah Swt yang dipercaya untuk dianugerahi dan dititipkan-Nya anak. Maka tanggung jawab utama mendidik dan mengasuh anak, adalah di tangan ayah dan ibu. Bukan sekolah, apalagi pembantu. “Kesibukan orang tua bukan alasan untuk mengalihkan tanggung jawab pengasuhan anak kepada baby sitter. Ayah dan ibu tetap harus yang mengasuh, bukan orang lain. Sadari pentingnya peran kedua orang tua dalam pengasuhan anak-anak,” tegasnya.

Kedua orang tua, harus punya kesepakatan dalam mengasuh anak. Ada pembagian tugas pengasuhan anak, dan sosok ayah harus terlibat dalam pengasuhan sehari-hari. Menurut penelitian dari Harvard University, anak dari ayah yang terlibat dalam pengasuhan, dia akan menjadi sosok yang suka menghibur ketika dewasa, harga dirinya tinggi, berprestasi, dan pandai bergaul. Menurut Ellison, C, Coltraine, St. Aubin, ketika ayah terlibat dalam pengasuhan, maka dapat membina relasi, lebih efisien, lebih mampu memperhatikan hal-hal detail, lebih fokus, lebih cerdas, lebih waspada, penuh perhatian, lebih sabar, tidak terlalu gelisah, lebih penolong, dan lebih alim.

“Sayangnya yang terjadi di masyarakat, keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak sangat minim. Padahal sebenarnya tidak butuh waktu lama. Ketika ayah mengantar sekolah, jangan hanya duduk di mobil, turunlah sebentar, sampaikan kata-kata positif sambil dielus-elus kepala anak perempuannya atau ditepuk-tepuk pundak anak laki-lakinya. Itu sudah cukup menggantikan ketiadaan ayah selama beberapa jam di sekolah,” terangnya.

Studi Henry Biller menyebutkan, kontak ayah dan anak di Amerika Serikat setiap hari, kurang dari 20 menit sepekan. Di rumah tangga yang ada kedua orang tua, 25% kontak ayah-anak rata-rata satu jam. Search Institute of Minneapolis menyebutkan 20% dari anak-anak kelas VI-XII, hanya punya kesempatan 10 menit bicara baik-baik dengan orang tuanya sepanjang bulan. “Itulah kenapa sejak lama saya katakan bahwa Indonesia adalah fatherless country. Negara yang sangat minim keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak. Kondisi ini sangat memprihatinkan. Banyak ayah berpikir bahwa tugas utamanya hanya mencari nafkah dan menyerahkan tugas pengasuhan hanya kepada ibu. Itu salah,” tegasnya.

Lantas apa akibatnya jika sebenarnya ada sosok ayah tapi dia tak terlibat dalam pengasuhan anak? Elly Risman menyebutnya sebagai “ber-ayah ada  ber-ayah tiada”, maka anak akan mengalami fatherless syndrome; temper trantum; kehilangan rasa aman; fisik, emosi, dan psikologis buruk, agresif; rentan peer pressure; cenderung suka sejenis dan bisa menjadi broken home, rentan cerai/bunuh diri.

Menurut hasil penelitian tesis Dian Karim, kurangnya peran ayah pada anak laki-laki bisa menyebabkan anak tersebut menjadi nakal, agresif, terkena narkoba, dan seks bebas. Sementara kurangnya peran ayah pada anak perempuan bisa mengakibatkan anak depresi dan melakukan seks bebas.

Kewajiban seorang ayah adalah menentukan garis-garis besar haluan keluarga (GBHK). Yaitu menentukan penanggung jawab pengasuhan anak di tangan siapa; menyediakan keuangan, makanan dan pakaian, rumah dan isinya dari sumber rezeki yang halal dan thoyib; menyediakan dan melakukan pendidikan, melatih dan memantau semuanya; menyediakan perawatan diri, harta, dan keluarga.

Ketika seorang ibu harus keluar rumah, misalnya untuk bekerja, kata Elly, suatu keluarga harus memastikan punya support system yang baik. Pastikan juga siapa pengasuh seksualitas anaknya. “Saya tegaskan, nenek tidak didesain untuk mengasuh cucu. Tapi sekarang cukup banyak anak yang menyerahkan pengasuhan anaknya kepada si nenek,” tegasnya.

Seorang ayah, katanya, sebagai modelling dia harus memberikan keteladanan dan pembiasaan. Sebagai murobbi harus dilihat bagaimana hubungan ayah dengan Allah Swt, bagaimana salat jamaahnya, apakah dekat dengan Alquran atau tidak. “Bagi saya, ketika anak laki-laki atau menantu laki-laki saya rutin Salat Subuh berjamaah di masjid, persoalan dunia sudah selesai. Saya yakin, soal rezeki, sudah dijamin Allah Swt. Jika semut yang ada di lubang saja dijamin rezekinya, mana mungkin manusia dibiarkan,” tegasnya.

Sebagai pemberi cinta, seorang ayah harus memastikan anaknya merasa berharga, aman, nyaman, terlindungi, cintai ibu dulu sebelum anak, sadari bahwa ayah ibu ibarat pakaian sehingga tak boleh saling membuka aib, anak-anak harus dicintai apa adanya, anak perlu ayah yang tahu apa yang anak mau.

Ayah sebagai coach, dia haru tentukan kualitas anak laki-laki dan perempuan, beda cara mengasuh anak laki-laki dan perempuan, jadilah ayah yang hangat. Jika anak laki-laki seringlah ditepuk-tepuk pundaknya, jika anak perempuan seringlah dielus-elus kepalanya, bimbing, terlibat, jadilah teladan dalam kepemimpinan dan keteguhan hati.

“Menurut hasil penelitian, ayah yang terlibat dalam pengasuhan akan membuat anak terhindar dari kecanduan pornografi. Hak ayah adalah dicintai, dihargai, dihormati, diperdulikan, dipercaya. Maka pulangkan ayah ke rumahnya, jalani peran ayah, takutlah pada neraka,” ungkapnya.

Ketiga, memiliki tujuan pengasuhan yang jelas. Seorang anak harus disadarkan bahwa dia adalah seorang hamba Allah, diarahkan agar menjadi mukmin yang bertakwa, berakhlak mulia dan beribadah secara sempurna. Dia juga harus dididik dan disiapkan menjadi calon istri/suami, calon ayah/ibu, profesional/entrepreneur, pendidik istri, anak dan keluarga, penanggung jawab keluarga dan bermanfaat bagi orang banyak. Sejak dini orang tua seharusnya mendidik anak laki-laki untuk memiliki penghasilan sendiri, karena kelak dia akan menafkahi keluarga.

Keempat, komunikasi yang benar, baik, dan menyenangkan. Kekeliruan dalam komunikasi antara orang tua dan anak antara lain bicara tergesa-gesa, tidak kenal diri sendiri, lupa bahwa setiap individu unik dan kebutuhan dan kemauan berbeda, tidak membaca bahasa tubuh, tidak mendengar perasaan, kurang mendengar aktif, dan seringnya berbicara menggunakan 12 gaya populer. 12 gaya populer itu adalah memerintah, menyalahkan, meremehkan, membandingkan, mencap/label, mengancam, menasihati, membohongi, menghibur, mengritik, menyindir dan menganalisa. “Kita sering berbicara tergesa-gesa, sehingga yang terjadi marah-marah kepada anak, akibatnya anak pun kemudian membantah atau berbicara dengan orang tua dengan nada tinggi. Belajarlah berbicara dengan menurunkan frekuensi dari biasanya, insya Allah anak juga akan berbicara lembut dengan orang tuanya. Lebih banyaklah mendengar daripada berbicara,” ujarnya.

“Bagaimana reaksi yang kita terima sekarang? Bukankah itu makna dari komunikasi yang berlangsung selama ini?” jelas Elly Risman.

Kelima, sendiri mendidik agama. Orang tua hendaknya memberikan sendiri pendidikan agama untuk anaknya. Orang tua harus mengubah paradigma atau cara pandang dalam mendidik agama, bukan bisa tapi suka. Misalnya bagaimana membuat anak tak sekadar bisa salat, tapi juga suka salat. Dalam hal pendidikan agama, sosok ayah memegang peranan penting. Dalam studi Alquran, ayat tentang dialog ayah-anak ada 14 kali, sementara dialog ibu-anak hanya dua kali. Hal itu menunjukkan bahwa sosok ayah yang seharusnya menjadi pendidik agama yang utama. Ibu yang menutup atau melengkapi kekurangan ayah. Tanggung jawab orang tua adalah membentuk kebiasaan dan meninggalkan kenangan. Sehingga anak paham, tidak terbebani dan tidak menolak. Anak suka dan bahagia ketika beribadah.

Keenam, persiapkan anak menjadi balig. Hal itu dimulai dari kesadaran dan kesepakatan bahwa anak sebagai amanah Allah Swt. Menyadari bahwa orang tua harus bertanggung jawab kepada Allah Swt atas amanah anak yang diberikan kepadanya, gentingnya masalah karena isu berkembang, anak perlu pendampingan melewati pubertas. Orang tua harus mempunyai komitmen dan kontinyuitas untuk menyediakan waktu dan tenaga dalam mendampingi anak menjelang balig.

Bagaimana cara mempersiapkannya? Masing-masing orang tua harus membuat daftar apa yang luput selama ini dan apa yang diperlukan sekarang, persiapkan materi sesuai umur , tentukan prioritas dan pembagian tugas antara ayah dan ibu.

Elly menegaskan, orang tua harus memberikan pengetahuan kepada anak tentang dampak positif dan negatif televisi, internet, play station, hanphone; penjelasan mengenai persiapan balig, penjelasan tentang pornografi, selfie, pacaran; penjelasan mengenai konsekuensi menjadi orang dewasa, semua harus disampaikan. Pilihan sebagian orang tua memberikan smartphone kepada anaknya yang selalu terhubung dengan internet, menurutnya adalah pilihan yang salah. Pasalnya ketika sudah terhubung dengan internet, anak bisa mengakses apa pun.

Ketujuh, siapkan anak menjadi generasi milenial. Dalam hal ini orang tua harus punya prinsip yang jelas; jangan latah dan jangan mau didikte anak; buat aturan, kesepakatan, kontrol, dampingi, bimbing, buat konsekuensi; jadilah teladan, adakan dialog secara berkala dengan anak dan ayah sebagai pengendali, buat list masalah anak; perbaiki komunikasi, bicara dengan anak mengenai masalah yang dihadapi, sampaikan tentang tujuan pebisnis pornografi dan anak mana yang menjadi target; buat aturan dan kesepakatan baru, pendampingan, evaluasi dan kesepakatan baru lagi. Lalu terapkan.<Eni Widiastuti>

 

 

 

Berita Lainnya

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos