Hadila.co.id — Bahagia itu sederhana. Salah satunya bisa diwujudkan dengan bersyukur. Sebab, syukur adalah sumber kebahagiaan. Begitu simpulan wawancara Hadila, dengan Ustaz Drs. H. Umar Sanusi.
Pada tahun 2015, ia adalah ketua Yayasan Bina Umat Al Mushlih Klaten dan juga mengemban amanah sebagai Direktur Muhammadiyah Boarding School (MBS) Jatinom, Klaten. Di samping itu, Ustaz Umar juga merupakan koordinator Rohis Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) dr. Soeradji Tirtonegoro Klaten. Berikut wawancara lengkap kami.
Bagaimana seharusnya syukur kita maknai, Ustaz?
Syukur itu berarti mengakui bahwa segala hal, segala nikmat, dan segala yang kita miliki adalah karunia dari Allah Swt. Syukur juga berarti memanfaatkan semua karunia dan kebaikan tersebut untuk hal-hal kebaikan, yang diridai dan sesuai kehendak/perintah Allah Swt. Syukur menyiratkan pelajaran bahwa apa pun harus dikembalikan kepada Allah Swt.
BACA JUGA: Tanggung Jawab Pemimpin di Masa Para Sahabat yang Bisa Diadikan Teladan
Apa urgensi syukur bagi seorang muslim?
Untuk mengetahui dan mengurai nikmat Allah Swt, sehingga bisa menjadi manusia terbaik yang bisa memberikan kemanfaatan dengan segala nikmat yang sudah dikaruniakan kepadanya.
Misal nikmat ilmu, ya harus ditularkan atau diajarkan kembali hingga membawa manfaat bagi orang lain.
Syukur juga dapat membentuk seorang muslim memiliki 5 keutamaan sikap. Pertama, pribadi yang ibadahnya diterima karena ikhlas, benar/ sesuai perintah Allah Swt dan tidak syirik. Dalam ikhlas terkandung kesyukuran.
Kedua, pribadi yang nampak nyata bermanfaat bagi orang lain. Bermanfaat adalah wujud rasa syukur.
Ketiga, pribadi yang tidak punya ketergantungan pada manusia. Syukur mempertebal tawakal, karena pemahaman yang jelas bahwa yang bisa memberikan nikmat dan pertolongan hanya Allah Swt.
BACA JUGA: Santan Kehidupan
Keempat, pribadi yang tidak menimbulkan mudarat pada orang lain. Karena orang yang bersyukur tidak akan menggunakan nikmat yang ada padanya untuk hal yang tidak diridai Allah Swt.
Dan kelima, pribadi yang kelak mati dengan terhormat. Bukankah ini luar biasa? Jika semuanya bisa dicapai, tentu kita akan bahagia, sebab bahagia itu sederhana.
Mengapa banyak manusia yang lupa atau bahkan sulit bersyukur?
Intinya ada pada pemahaman. Kebanyakan orang salah memahami masalah nikmat. Hal ini berakibat fatal, karena bisa sampai ke masalah akidah. Terkait dengan pemahaman nikmat ini, manusia digolongkan menjadi 4 kategori:
Pertama, manusia yang pemahamannya berkata: “Rezeki itu dari Allah Swt, dan juga hasil kerja saya.” Manusia dengan pemahaman seperti ini, tidak akan pernah bisa bersyukur.
Lebih bahaya lagi, dapat terjebak dalam syirik. Letak syiriknya ada pada; meletakkan usaha dan takdir pada kedudukan yang seimbang.
Kedua, manusia yang pemahamannya berkata: “Rezeki dari Allah Swt, dicari atau tidak dicari, kalau dapat ya dapat, kalau tidak ya tidak.” Manusia dengan pemahaman seperti ini dapat terjebak dalam kemunafikan.
Efeknya, munculnya pribadi-pribadi pemalas. Allah Swt tidak akan mengubah nasib manusia (kaum), jika manusia (kaum) tersebut tidak berusaha mengubahnya.
Ketiga, manusia yang pemahamannya berkata: “Rezeki dari Allah Swt, menjadi milikku dan aku berhak menggunakan sesuka hatiku.” Orang dengan pemahaman ini menggunakan rezeki sesuai dengan hawa nafsunya.
Orang seperti ini paling banyak di antara manusia, tidak pernah bisa bersyukur. Mereka disebut ahli dosa.
BACA JUGA: Keberhasilan Pantas untuk Dirayakan
Keempat, manusia yang pemahamannya berkata: “Rezeki dari Allah Swt, usaha hanya menjadi sebab dan lantaran atas rezeki itu.” Orang dengan pemahaman seperti ini, membelanjakan rezekinya sesuai ketentuan Allah Swt.
Mereka disebut orang-orang mukmin yang bersyukur. Manusia kategori empat ini cenderung optimis dan senantiasa bahagia dalam hidupnya.
Untuk yang poin empat, batasannya bagaimana Ustaz?
Banyak dalil yang menyebut mengenai memanfaatkan nikmat dalam jalan yang dikehendaki Allah. Ini terkait dengan perintah dan larangan Allah. Di antaranya: tidak berlebih-lebihan namun juga tidak pelit, melestarikan/tidak menahan sedekah, menggunakan untuk yang halal, dan lain-lain.
Orang yang merokok, termasuk ke dalam golongan yang tidak bersyukur (golongan ketiga), karena ia menggunakan rezeki bukan pada hal yang dikehendaki Allah.
Bagaimana korelasi syukur dengan kebahagiaan?
Orang yang senantiasa bersyukur hatinya akan diliputi bahagia. Bahagia itu senderha. Bedakan contoh ini: Seseorang jajan di warung yang harga menunya mahal, tetapi rasanya biasa. Setiap kali lewat warung itu lagi, mungkin dia akan kembali merasa kecewa.
BACA JUGA: Hal-Hal yang Sebaiknya Dilakukan Keluarga di Momen Awal Tahun Baru Seperti Saat Ini
Jika ini dianalogikan sebagai pemanfaatan nikmat yang salah, maka akan ditemukan hati yang tidak bahagia. Berbeda manakala seseorang menggunaan rezekinya sebagian untuk membeli dua sak semen bagi pembangunan masjid. Maka kapan pun ia lewat masjid itu, di hatinya akan muncul kebahagiaan dalam hatinya.
Allah telah berjanji memberikan keberuntungan dan kebahagiaan bagi hamba yang bersyukur. ‘lain syakartum laaziidan nakum’ (jika engkau bersyukur, niscaya Aku akan menambahkan nikmat kepadamu).
Bagaimana wujud konkret memulai hari dengan syukur?
Melihat luar biasanya urgensi syukur, memulai hari dengan syukur adalah keharusan. Bangun pagi, ucapkan doa dan alhamdulillah. Setelah itu ‘bermanfaatlah’ dengan segala nikmat yang ada padamu. <Hadila Edisi Januari 2015>