Oleh: Maimon Herawati (Dosen Unpad Bandung)
Hadila – Jumlah handphone cerdas atau smartphone yang beredar di Indonesia pada 2016 lebih dari 326 juta. Jumlah yang melebihi penduduknya. Asumsinya, satu orang memiliki lebih dari satu handphone. Jumlah user Facebook lebih dari 100 juta. Artinya? Koneksi sesama manusia semakin banyak menggunakan saluran digital.
Ada yang salah? Tidak. Ini perkembangan zaman yang juga melanda manusia di mana saja. Yang berbeda hanya kecepatan laju perubahan tiap daerahnya.
Persoalan muncul dalam nature atau karakter hubungan itu. Ini karena jenis komunikasinya juga berubah. Bagi yang mengandalkan handphone dalam komunikasi mereka, komunikasi verbal dan non verbal berubah menjadi hanya komunikasi verbal tertulis. Hal ini memengaruhi banyak hal. Lima kalimat yang sama akan memiliki perbedaan makna bergantung pada lokasi penekanan kata-kata tertentu, raut wajah, atau tinggi rendah volume suara.
Komunikasi era digital yang melulu mengandalkan komunikasi verbal tertulis kehilangan kemampuan menyampaikan pesan yang demikian dalam dan beragam. Apalagi pesan dari hati yang kadang hanya muncul lewat tatapan mata.
Akibatnya? Komunikasi cenderung menjadi kering, kosong, dan jauh dari sentuhan hati. Padahal, sejarah mencatat banyak Muslim masuk Islam dahulu hanya karena menatap wajah Rasulullah Saw. Banyak yang tergetar dengan keteduhan jiwa Rasulullah Saw. Ada sahabat yang berkisah, tidak ada wajah yang demikian dia sukai untuk dipandangi lama-lama selain wajah Rasulullah Saw. Akan tetapi, sampai Rasulullah wafat, dia tidak bisa menjelaskan bagaimana wajah Rasulullah Saw secara detail saking dia sulit menatap wajah Baginda Saw lama dan teliti. Ini karena sangat berwibawanya Rasulullah Saw.
Efek komunikasi jauh dari sentuhan hati ini mulai terasa pada hubungan para aktivis dakwah. Belasungkawa cukup diwakili oleh emoticon menangis dan tulisan turut berduka. Ikut berbahagia diwakili emoticon hati. Dengan sendirinya, ikatan hati di antara aktivis menjadi lemah dan mekanis. Padahal, ikatan hati para aktivis ini ibarat semen yang melekatkan batu-batu bata pembangun satu rumah. Tanpa semen, batu bata itu dengan mudah dirobohkan. Tanpa ikatan hati sesama aktivisnya, sosok-sosok di dalamnya dengan mudah dicerai-beraikan. Ini sinyal lampu merah perjuangan. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi November 2017>
1 comment