Oleh: Ustaz Amin Rois, (Alumni Universitas Al Azhar, Jurusan Tafsir dan Ulumul Qur’an)
ا مِنْ مُسْلِمٍ يَغْرِسُ غَرْساً أَوْ يَزْرَعُ زَرْعًا فَيَأْكُلُ مِنْهُ طَيْرٌ اَوْ اِنْسَانٌ اَوْ بَهِيْمَةٌ إِلَّا كَانَ لَهُ بِهِ صَدَقَةٌ
“Tidak lah seorang muslim yang menanam atau berkebun, kemudian ada burung, manusia, atau binatang yang memakan tanaman tersebut, kecuali orang muslim itu mendapatkan pahala sedekah” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Hadis tersebut menetapkan bahwa semua orang muslim yang menanam tanaman akan mendapatkan pahala sedekah dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku. Hadis di atas mempunyai objek umum bagi semua kaum muslimin yang melakukan aktivitas bercocok tanam dan hasilnya dimanfaatkan dengan baik oleh makhluk hidup lainnya; dijadikan sebagai makanan bagi manusia, burung atau hewan lainnya.
Umat Nabi Muhammad adalah umat yang diajarkan untuk berikhtiar, mengambil asbab-musabab atau hukum kausalitas untuk mencapai keinginan dan cita-cita, umat Islam bukanlah umat yang fatalistik berpangku tangan sembari menunggu hujan emas dari langit, sebagaimana sindiran dari khalifah Umar bin Khathab Ra. Hanya saja janganlah kita lalai akan doa, mengingat bahwa sebab utama semua hasil adalah dari Allah Swt.
Ikhtiar manusia untuk bertahan hidup terbuka luas selama sesuai dengan koridor dan syariat yang sudah diajarkan oleh Rasulullah Saw. Berkebun atau bertani, jual beli komoditas, memproduksi bahan pokok dan kebutuhan manusia, menyewakan jasa dan lain sebagainya. Di zaman Rasulullah, mungkin teknis bekerja maupun profesi orang-orang ketika itu berbeda dengan sekarang, akan tetapi substansi dari pekerjaan tetaplah sama. Bila dahulu bercocok tanam dengan tradisional dan menggunakan alat-alat manual, maka sekarang kita temukan teknologi pertanian dan perkebunan yang menyertakan mesin dan perangkat elektronik lainnya. Pun juga demikian dengan profesi dan pekerjaan-pekerjaan lain.
Banyak ayat Alquran maupun hadis yang berbicara tentang bercocok tanam. Allah Swt berfirman, “Dengan (air hujan) itu dia menumbuhkan untuk kamu tanaman-tanaman.” (Q.S. An-Nahl: 11). “Kamukah yang menumbuhkannya ataukah Kami yang menumbuhkan?” (Q.S. Al-Waqi’ah: 64). “Dan tanah yang baik, tanaman-tanamannya tumbuh subur dengan izin Allah; dan tanah yang buruk, tanaman-tanamannya tumbuh merana.” (Q.S. Al-A’raf: 58). “Tidakkah kamu memerhatikan bagaimana Allah telah membuat perumapamaan kalimat yang baik seperti pohon yang baik, akarnya kuat dan cabangnya menjulang ke langit.” (Q.S. Ibrahim: 24). Allah menggunakan aktivitas bercocok tanam maupun tumbuhan di dalam Alquran untuk berbagai perumpamaan.
Substansi hadis di atas juga dikuatkan dengan banyak riwayat lain yang mempunyai makna senada, bahwa ketika kita menanam sesuatu, dan hasil tanaman tersebut dimanfaatkan untuk makhluk hidup dengan baik, secara menanam pun juga ditekankan oleh Rasulullah saw. Dalam sebuah hadis lain disebutkan, bahwa ketika esok hari adalah hari terakhir atau kiamat, dan di tangan kita ada biji tanaman, kita diperintahkan untuk menanam biji itu. Hadis Rasulullah tersebut bisa dimaknai bahwa Rasulullah memerintahkan kita untuk tetap berikhtiar dan berusaha dalam kondisi apapun, pun juga Rasulullah memilih perumpamaan ikhtiar tersebut dengan bercocok tanam, bukan jual beli, memerah susu, atau lainnya. Hal ini menunjukan bahwa ada keistimewaan tersendiri pada pertanian dan perkebunan.
Rasulullah sebagai penduduk pribumi Saudi Arabia memilih (baca: diwahyukan) bercocok tanam untuk mengambil sebuah perumpamaan ikhtiar. Dalam kitab-kitab klasik seperti Ahkam Sulthaniyah – Imam Mawardi, sebuah kitab tentang tata negara, tercantum bab khusus tentang ihya`ul ardhil mawaat, menghidupkan tanah mati, reboisasi tanah tandus, kering, dan tidak produktif. Dalam sejarah Islam, saat Perang Khaibar, Rasulullah masih memberi sedikit hak bagi orang Yahudi untuk mengelola pertanian mereka, karena bila tanah itu langsung diberikan kepada kaum muslimin, yang saat itu belum mempunyai modal yang mumpuni dalam menggarap tanaman, dikhawatirkan akan menuai hasil yang tidak produktif pada tanaman tersebut. Hal ini sekali lagi menunjukan bahwa Rasulullah Saw memberi perhatian yang sangat serius bagi dunia cocok tanam.
Bila kita kembali pada substansi kedua pada hadis di atas, kita bisa memetik pelajaran bahwa ladang kebaikan itu sangat luas. Oleh Allah hasil tanaman yang dimakan atau dimanfaatkan makhluk hidup ternyata dihitung sebagai sedekah.
Hanya saja, Islam adalah agama yang proporsional, mengajarkan tentang sikap yang berimbang. Sekalipun hasil tanaman kita bila ‘diambil’ makhluk hidup dihitung sedekah, akan tetapi hadis di atas jangan lantas dipahami bahwa kita tidak diperbolehkan untuk menjaga hasil tanaman kita dari ‘hama-hama’ dan juga pencuri. Hadis di atas tidak lantas menafikan substansi dari hadis lain yang juga memerintahkan kepada kita untuk menjaga harta benda kita. Maka ketika kita menanam sebuah tanaman, tetaplah untuk merawatnya. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Desember 2017