Oleh: Mulyanto Utomo (Redaktur Senior Majalah Hadila)
Galau, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) bermakna ‘kacau’. Ini tentang pikiran. Galau, selama ini seolah hanya berada pada wilayah anak muda, abege alias anak baru gede. Padahal tidak, setiap insan mempunyai kesempatan yang sama untuk merasa galau.
Sejatinya galau, resah, dan gelisah itu sudah ada sejak manusia diciptakan. Karena kegelisahan, kekhawatiran, rasa waswas, rasa takut dan sebangsanya itu adalah fitrah manusia. Mulai dari anak-anak, remaja, abege, hingga manusia lanjut usia, kerennya senior citizen atau warga senior pasti mengalami hal ini. Atau setidaknya pernah mengalami.
Untuk menguji tentang adanya kegelisahan, waswas, atau rasa takut itu bahkan Allah Swt dalam Surah Al-Baqarah ayat 155, “Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar.”
Jadi, rasa ketakutan termasuk galau itu sesungguhnya menyangkut dalam segala aspek kehidupan. Bukan hanya perkara kisah kasih di sekolah, atau tentang asmara yang membara di antara dua insan manusia. Kekurangan harta, kelaparan, kehilangan belahan jiwa, bahkan sekadar gagal panen semuanya adalah bagian dari rasa khawatir, penyebab kegalauan.
Tentu saja, untuk warga senior, mereka yang telah berada di usia senja kegalauan ini lebih manyangkut masalah masa depan. Masa depan yang tinggal sepanjang galah. Ini tentang pikiran. Apa yang telah saya capai selama ini? Apa yang telah saya perbuat kepada generasi muda? Apa yang telah saya kumpulkan untuk saya sendiri setelah saya meninggal?
Belasan, puluhan, atau bahkan ratusan pertanyaan seperti itu sering membuat galau mereka yang sudah berada pada usia senja. Mengapa? Karena waktu tidak bisa diulang. Mereka tidak akan bisa kembali ke masa lalu, ke masa muda untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan. Yang ada adalah kekecewaan, rasa penyesalan.
Penyesalan itu datangnya memang di belakang. Tiba-tiba mereka baru tersadar ketika waktu telah berlalu, banyak hal telah terlewatkan, dan usia telah menanjak tua berada di ujung senja. Yang bisa dilakukan ketika itu hanyalah merenung, mengingat apa yang telah dia perbuat pada masa lalu dan menyesalinya.
Begitu banyak orang menyesal di usia tua. Dari sebuah sumber infografis yang ditamplikan di sebuah tayangan Youtube disebutkan bahwa data statistik dunia menunjukkan lima hal yang paling disesali seseorang ketika dia telah menjadi tua.
Pertama, 92% orang tua menyesal karena tidak berusaha keras saat dia muda untuk mencapai cita-cita yang ingin dia raih. Masa muda begitu cepat berlalu. Mereka merasa tidak fokus untuk mengejar yang dia cita-citakan itu dan selalu tergoda untuk bersantai, bermalas-malasan. Ketika mereka tersadar, ternyata usia mereka sudah tidak muda lagi.
Kedua, 73% orang menyesal karena salah ketika memilih pekerjaan. Dia tidak mempertimbangkan tentang masa depan, karier, dan sebagainya. Yang dia pilih hanyalah sebuah kenyamanan. Dia tidak berani mengambil langkah progresif revolusioner untuk sebuah perubahan karena mereka takut gagal.
Ketiga, 60% orang tua menyesal karena tidak mendidik anak mereka dengan baik. Mereka terlalu memanjakan anak-anak dengan berbagai kemudahan, bahkan terlalu bersikap protektif terhadap anak-anak mereka. Banyak orang tua yang tidak sadar bahwa langkah seperti itu sesungguhnya keliru.
Keempat, 57% orang menyesal tidak menyayangi pasangannya sendiri. Banyak orang yang tidak bisa menjaga pasangannya dengan baik. Setelah mereka kehilangan pasangannya untuk selama-lamanya, barulah mereka tersadar bahwa pasangan adalah orang penting yang harus disayangi.
Kelima, 45% orang menyesal tidak bisa menjaga kesehatan badannya sendiri dengan baik ketika masih muda. Namun semuanya sudah terlambat tatkala berbagai penyakit dan kemampuan fisik di usia senja menghampirinya.
Nah, pepatah sesal kemudian tiada guna, memang benar adanya. Menyesal di usia senja akan menambah kegalauan untuk menjemput masa depan yang lebih bahagia. Bahagia itu ada di hati, bukan di bayang-bayang masa lalu.
Kebahagian sejati dalam Islam adalah di akhirat. Itulah kenapa Islam memerintahkan manusia untuk optimal, bersungguh-sungguh dalam mengerjakan ibadah di dunia dalam arti yang luas untuk bekal akhirat tanpa harus meninggalkan rasa bahagia.
Jadi, apa tips untuk menepis rasa galau itu? Inilah yang disampaikan Allah Swt kepada kita semua, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (Q.S. Al-Qashash: 77). <Dimuat di Majalah Hadila Edisi januari 2019>