Oleh Mukhamad Shokheh (Dosen Ilmu Sejarah Unnes)
Secara historis tumbuh dan berkembangnya wakaf di Indonesia dapat dikatakan sejalan dengan perkembangan penyebaran Islam. Wakaf sebagai lembaga Islam yang erat kaitannya dengan masalah sosial dan adat, telah dikenal sejak Islam masuk ke Nusantara. Pada masa awal penyiaran Islam, kebutuhan akan masjid untuk ibadah dan dakwah, telah mendorong tumbuhnya kedermawanan umat melalui wakaf tanah bagi pendirian masjid.
Pertumbuhan Wakaf
Seiring perkembangan sosial masyarakat, tradisi wakaf untuk tempat ibadah tetap bertahan dan mulai muncul wakaf dalam bentuk lain seperti untuk pendirian pesantren dan madrasah. Hal ini menjadi tradisi yang lazim di komunitas muslim di Nusantara. Para Ulama Jawa yang dikenal dengan Walisongo ketika berdakwah biasa memulainya dengan mendirikan masjid dan pesantren. Pola ini dilakukan oleh Syekh Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M), dan Sunan Ampel (wafat 1467 M), yang kemudian diikuti oleh tokoh Walisongo lainnya. Masjid dan pesantren dikenal sebagai institusi wakaf pertama yang menjadi benih bagi perkembangan filantropi Islam pada masa berikutnya.
Pada masa kesultanan, praktik filantropi wakaf telah berkembang. Hal ini dapat dilihat pada peninggalan sejarah berupa tanah dan masjid, madrasah, komplek makam, serta tanah lahan hampir di seluruh Nusantara. Bukti itu antara lain tanah yang di atasnya berdiri masjid seperti: Masjid Al Falah di Jambi berasal dari tanah Sultan Thah Saifudin, Masjid Kauman di Cirebon wakaf dari Sunan Gunung Jati, Masjid Demak, wakaf dari Raden Patah (Waskito dan Arnowo, 2019).
Regulasi Wakaf
Kerajaan Aceh Darussalam yang didirikan sejak tahun 916 H/1511 M telah mempunyai Undang-Undang Dasar yang bernama “Kanun Meukuta Alam” atau “Kanun al-Asyi”. Di antara lembaga pemerintah yang termaktub dalam “Kanun Meukuta Alam”, terdapat lembaga yang bernama Balai Meusara. Balai ini bertugas mengelola segala urusan yang berkenaan dengan wakaf (Abdul Rani Usman, 2003).
Pada masa penjajahan beberapa peraturan tentang wakaf dikeluarkan oleh pemerintah kolonial. Di bawah kekuasaan Hindia Belanda maka setiap perwakafan tanah harus diketahui oleh negara. Sedangkan terkait harta benda wakaf hanya terbatas pada benda tidak bergerak seperti tanah, tidak mengatur harta wakaf bergerak sekalipun pada masa itu sudah ada yang mewakafkan Al-Qur’an, sajadah, dan batu bata (Djunaidi, 2006).
Meski demikian, pada masa penjajahan kegiatan perwakafan tetap mengalami perkembangan. Hal itu ditandai dengan berdirinya masjid, sekolah madrasah, dan pesantren yang mayoritas dibangun di atas tanah wakaf dengan swadaya masyarakat. Ini berarti peraturan wakaf yang dikeluarkan pemerintah kolonial tidak memiliki signifikansi, selain sebatas untuk memenuhi formalisme administratif.
Setelah Indonesia merdeka, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Agama No 9 dan No. 10 tahun 1952 tentang Perwakafan Tanah. Melalui peraturan ini perwakafan tanah menjadi wewenang Menteri Agama yang dalam pelaksanaannya dilimpahkan kepada kepala Kantor Urusan Agama kabupaten. Pemerintah Republik Indonesia tetap mengakui hukum agama mengenai wakaf. Adapun campur tangan pemerintah terhadap wakaf itu hanya bersifat administratif dan tidak bermaksud mengakuisisi kepemilikan tanah menjadi milik negara.
Selanjutnya pada masa Orde Baru, pengelolaan wakaf ditertibkan melalui dasar hukum Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik.
Ini merupakan PP pertama yang memuat substansi dan teknis perwakafan. Namun peraturan tersebut dinilai belum dinamis, sehingga wakaf dicitrakan identik dengan masjid, kuburan, dan madrasah.
Bergulirnya reformasi ikut menyediakan arena bagi artikulasi politik Islam secara konstitusional. Pemerintah mengakui aturan hukum perwakafan dalam bentuk undang-undang (UU) melalui UU Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf. Produk undang-undang ini telah memberikan pijakan hukum yang pasti, kepercayaan publik, serta perlindungan terhadap aset wakaf.
Saat ini dengan disahkannya Undang-Undang Wakaf, terbuka ruang bagi peningkatan peran wakaf, tidak hanya sebagai pranata keagamaan, tetapi juga sebagai kekuatan ekonomi umat. Hal ini menjadi momentum bagi pemberdayaan umat secara produktif, sebagai sarana rekayasa sosial, wadah mempertajam visi sosial ekonomi yang lebih kontributif. Akhirnya, melalui pengelolaan wakaf yang amanah dan modern akan mendorong terbangunnya formasi integrasi nilai sosial-ekonomi Islam ke dalam sistem dan konfigurasi sosial-ekonomi nasional. Wallahu a’lam. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi November 2020>