Oleh Tajuddin Pogo (Ketua Departemen Dakwah IKADI)
Hadila – Kehidupan dunia sarat dengan ujian sesuai kapasitas individu yang memikulnya. Seseorang tidak akan dibebani lebih daripada kemampuannya. Semakin sulit ujian yang menimpa seseorang, kemudian dia sabar dan lulus menghadapinya, maka semakin tinggi pula penghargaan Allah atasnya. Bila dia terus bertahan, tegar dan lulus dalam setiap ujian, maka derajatnya semakin terangkat dan semakin tangguh kapasitasnya untuk menghadapi ujian peningkatan iman berikutnya.
Demikianlah sunatullah dalam berbagai bentuk problematika dan ujian yang telah berlaku pada setiap mukmin sejak awal. Hikmah Allah selalu muncul dalam setiap ujian, dan bagi hamba yang sabar, berharap pahala dan meraih balasan dari Allah, selalu memperoleh hasil terbaik. Perhatian Allah selalu datang untuk menguatkan dan mendukung kesuksesan kaum mukminin dalam melewati ujian dengan keberhasilan dan kemenangan.
Hidup tanpa masalah, mustahil. Masing-masing individu pasti menghadapi suatu masalah dan punya cara yang berbeda dalam menyikapinya sesuai tingkat kesulitannya. Dalam kondisi normal, Allah telah menetapkan bahwa masalah yang dibebankan pasti telah sesuai takaran kemampuan tiap-tiap jiwa. Dia Maha Bijaksana dan Mahaadil dalam menimpakan ujian kepada hamba-Nya. Mukmin selalu memandang bahwa sumber masalah yang dihadapinya selalu berasal dari sikap dan perbuatannya sendiri. Bila tidak, maka masalah tersebut merupakan sarana ujian peningkatan kualitas iman dan peninggian derajat, bila lulus dalam menempuhnya.
Semakin bertambah iman seorang mukmin, semakin besar ujian yang menimpanya. Buktinya Rasulullah sendiri. Beliau adalah rasul dan nabi paling mulia, tetapi beliau merupakan nabi yang paling dahsyat cobaannya, bila dibandingkan dengan para nabi lainnya. Riwayat menyebutkan dari Sa’ad bin Abi Waqqash beliau berkata : “Aku bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam: “Wahai Rasul, siapa manusia yang paling berat cobaannya?” Rasulullah menjawab: “Para Nabi, lalu orang-orang saleh, lalu orang-orang yang semisal dengan mereka, lalu yang semisal dengan mereka. Seseorang itu diuji menurut ukuran (dalam suatu riwayat ‘kadar’) agamanya. Jika agamanya kuat, maka cobaannya pun dahsyat. Dan jika agamanya lemah, maka ia pun diuji menurut (kadar) agamanya. Sesungguhnya cobaan akan selalu menimpa seseorang sehingga ia dibiarkan berjalan di muka bumi, tanpa ada kesalahan lagi.” (H.R. At-Tirmidzi (2/64), dengan derajat hasan shahih, Ibnu Majah (4031), Al Hakim dalam Al Mustadrak dan Ibnu Hibban dalam Shahih Ibnu Hibban)
Hadis tersebut membantah dugaan sebagian orang yang menyangka ketika seorang mukmin ditimpa cobaan adalah pertanda Allah tidak meridainya. Dugaan semacam itu salah sama sekali. Sesungguhnya orang yang diuji dengan musibah dan cobaan dicintai Allah bila dia sabar dan rela menerimanya. Rasulullah menegaskan, “Sesungguhnya besarnya pembalasan (pahala) itu sesuai dengan besarnya cobaan. Dan sesungguhnya bila Allah mencintai suatu kaum maka Dia akan menguji mereka. Barang siapa rida, maka baginya rida (Allah), dan barang siapa yang murka, maka untuknya pula kemurkaan itu.” (H.R. At-Tirmidzi (2/64), Ibnu Majah (4031). Orang yang murka dengan cobaan Allah dan menduga buruk terhadap ujian orang beriman, baginya adalah kemurkaan. Jadi jangan pernah berburuk sangka dengan ujian dan cobaan dari Allah.
Sesungguhnya cobaan itu walaupun berupa keburukan, sejatinya adalah suatu kebaikan. Gambaran indah tentang hal itu disebutkan dalam hadis lain. Rasul bersabda;“Aku heran kepada urusan orang mukmin. Sesungguhnya semua urusannya adalah baik. Jika sesuatu yang menyenangkan menimpanya, dia bersyukur memuji Allah dan itu baik baginya. Jika sesuatu yang menyusahkan menimpanya, dia bersabar, maka itu pun juga baik baginya. Dan hal itu bukan untuk setiap orang (yang dalam semua perkara adalah baik baginya), hanya bagi orang mukmin saja.” (H.R. Ad-Darimi (2/318) dan Ahmad (6/16))
Ujian dan cobaan dalam kehidupan sejatinya untuk mengukur kekuatan iman, kepasrahan, tawakal, dan kesungguhan memohon pertolongan dari Allah Azza Wa Jalla. Kisah dalam Al-Qur’an menampilkan bukti dan pelajaran bagi orang yang cerdas dan gemar belajar dari pengalaman sukses generasi terdahulu. Beberapa kejadian penting dalam kondisi genting bisa dijadikan cermin dalam menghadapi masalah serupa pada masa kini.
Ancaman dahsyat pernah dimobilisasi oleh konspirasi Quraisy dan sekutunya dengan target meluluhlantakkan Madinah dan membantai kaum muslimin. Nabi dan para sahabat harus menghadapi serangan dan pengepungan kurang lebih sebulan lamanya. Gambaran kondisi genting tersebut, diabadikan dalam Al-Qur’an. “(Yaitu) ketika mereka datang kepadamu dari atas dan dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatan(mu) dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka.” (Q.S. Al-Ahzab: 10)
Apalagi intelejen kaum kafir dan munafik menebarkan psy-war dan isu-isu yang menakutkan; …“Sesungguhnya manusia telah mengumpulkan pasukan untuk menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka.” (Q.S. Ali Imran: 173)
Namun bagi para sahabat yang taat kepada Allah dan rasul-Nya, isu itu malah menambah keimanan mereka dan mereka menjawab, “Cukuplah Allah menjadi Penolong kami dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung.” (Q.S. Ali Imran: 173)
Allah mengirimkan angin beliung yang menerbangkan kemah-kemah dan amunisi pasukan Quraisy dan sekutunya disertai angin dingin yang menusuk tulang. Mereka pun porak-poranda dan beranjak pergi meninggalkan medan perang Khandaq (Parit), tanpa hasil apa pun.
Sementara pasukan kaum muslimin mendapatkan nikmat, karunia, rida Allah dan tanpa kerugian yang berarti. Allah menegaskan; “Maka mereka kembali dengan nikmat dan karunia (yang besar) dari Allah, mereka tidak mendapat bencana apa-apa, mereka mengikuti keridaan Allah. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (Q.S. Ali Imran: 174) <Dimuat di Majalah Hadila Edisi November 2020>