Oleh Maimon Herawati (Dosen dan Penulis)
Hadila – Saya selalu suka berbagi tentang mengatur keuangan. Saya ingin lebih banyak lagi yang merasakan kebahagiaan seperti saya: hidup merdeka tanpa utang. Berapapun penghasilan, hidup tidak terasa sulit jika tanpa utang.
Orang yang berutang akan selalu merasa dikejar-kejar. Tidak satu dua yang kemudian hidup berpindah, lari dari kejaran debt collector. Lebih parah lagi, ada yang terpaksa menghilangkan jejak eksistensi, memutus komunikasi dengan karib kerabat supaya tidak terdeteksi lagi oleh debitor. Pada skenario terburuk, mereka terpaksa meninggalkan rumah dan asetnya karena disita debitor. Saya tidak tahu tinggal di mana kenalan itu sekarang. Di pintu dan pagar rumahnya terpampang pengumuman sita rumah dari bank.
Katakanlah skenario buruk tidak terjadi. Tapi, terbayang tidak, setiap bulan khawatir memikirkan tambahan penghasilan supaya cukup untuk hidup dan membayar utang. Tidak satu dua kenalan yang sangat bernafsu mengejar SPPD, berstrategi bisa diikutkan kegiatan apa saja asal bisa mendapatkan uang tambahan. Namanya di kalangan teman sudah terkenal. Kerja tidak, ikut menerima SPPD iya. Dicurigai ini karena beban keuangan tertentu. Utang.
Lalu bagaimana supaya bisa bebas utang? Saya akan ambilkan dari pengalaman pribadi selama 46 tahun bebas utang kecuali utang kecil pada sahabat asal Malaysia. Kami berdua sering tukar pakai dana. Jika beasiswanya telat, dia menggunakan dompetku. Jika bulan itu saya terlalu banyak membeli buku, dua hari akhir bulan menggunakan dananya untuk beli makanan.
Pertama, pastikan memahami beda antara ingin dan butuh. Saat haus, butuhnya adalah air penghilang dahaga. Air bisa air putih dimasak sendiri dari sumur rumah. Air galon bermerek. Air botolan beli di mall. Atau air kafe yang harganya lima galon air isi ulang. Kita harus paham bahwa kebutuhan tubuh hanya air putih. Keinginan nafsu adalah minum sambil nongkrong di kafe.
Kedua, memahami arus keluar uang dengan memastikan semua pemasukan dan pengeluaran tercatat. Lakukan beberapa bulan berturut-turut. Maka akan terdeteksi pos pengeluaran mana yang paling banyak menyedot keuangan. Dulu waktu saya remaja, pos beli buku bisa setengah dari uang bulanan. Salah? Pasti iya. Karena setelah membeli buku, saya menjadi super hemat dalam makanan. Makan nasi dan sayur saja. Supaya protein cukup, ambil sayur yang ada tahunya. Mahasiswa.
Dari pemetaan pengeluaran tersebut, segera lakukan pengaturan ulang. Uang banyak habis di kafe dan mall, maka pastikan pilih lokasi nongkrong yang nyaman tetapi mungkin membawa makanan dan minuman sendiri. Saya sering menuntaskan tulisan sambil numpang duduk di saung Pak Tani. Bawa minuman panas dan cemilan sendiri. Gratis dan produktif. Sekarang saja saya menulis di pinggir kolam ikan sambil membawa minuman panas. Nyaman di hati, aman masa pandemi, dan ramah dompet pasti.
Uang banyak habis untuk membangun jaringan? Era digital masa pandemi ini memungkinkan kita memiliki jaringan internasional secara gampang dan murah. Syaratnya? Pandai berkomunikasi dengan bahasa yang santun. Baru saja saya terhubung dengan aktivis ‘Me Too’ asal Korea Selatan yang menyurati terkait salah satu produk kreatif asal negaranya. Kami terhubung karena sama-sama menggunakan Bahasa Inggris.
Pengaturan ulang keuangan akan memungkinkan kita menabung hingga jika memerlukan barang mahal, ada uang membeli kontan, bukan kredit. Saran saya, tabungan itu sekali beberapa bulan ubah jadi logam mulia bersertifikat. Ini membantu supaya nilai rupiah tabungan stabil, tidak tergerus inflasi.
Ketiga, pastikan tiap bulan, apapun yang terjadi, ada uang yang disiapkan untuk masa sulit dan kering. Tidak selamanya penghasilan seperti sekarang. Apalagi masa pandemi di mana syarat mem-PHK pun tidak sesulit sebelumnya. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Desember 2020>