Hadila – Dalam Islam, ilmu kedokteran merupakan ilmu yang dipelajari dengan serius. Rasulullah Saw adalah inspirator utama kedokteran Islam. Meski beliau bukanlah dokter, tetapi tutur katanya yang terekam dalam banyak hadis menjadi inspirasi di dunia kesehatan.
Prophetic Medicine pada masa Rasulullah, telah mendorong ilmuan muslim untuk mengembangkan ilmu kedokteran. Pada abad 9 M, Hunayn bin Ishaq menerjemahkan karya kedokteran Yunani, Persia dan India ke dalam bahasa Arab. Selanjutnya, Hunayn mengembangkan ilmunya di hampir semua bidang kedokteran seperti anestesi, anatomi, immunologi, psikologi, bedah, opthalmologi, perinatologi, dan farmakologi.
Dokter dalam Sejarah Islam
Pada abad ke-9 M sampai dengan ke-13 M dunia kedokteran Islam berkembang pesat. Pada era ini lahir sejumlah dokter terkemuka. Dokter Muslim pertama yang menulis buku adalah Ali at-Tabari. Dokter dari Suriah yang masuk Islam pada tahun 855 M ini merupakan dokter pribadi Khalifah al-Mutawakkil. Dia menulis Firdaus al-Hikmah yang merupakan buku kedokteran pertama dalam bahasa Arab dalam kerangka pikir Yunani dan India.
Abu Bakar Muhammad bin Zakaria ar-Razi (Rhazes) (865- 925M), seorang dokter dan ahli kimia serta filsafat. Beliau pernah menjadi dokter istana Pangeran Abu Saleh al Mansur di Khurasan sebelum berpindah ke Baghdad dan menjadi dokter kepala di Rumah Sakit Baghdad sekaligus dokter pribadi khalifah. Buku kedokteran yang ditulis adalah al-Mansuri (Liber Almansofis pada abad ke-15) dan al-Judari wa al-Hasbah (Penyakit Cacar dan Campak).
Dokter terbesar dalam sejarah Islam adalah Ibnu Sina pada periode 980-1037 M. Dia digelari Medicorum Principal alias Raja Diraja Dokter oleh tradisi kedokteran Eropa klasik. Salah satu buku kedokteran yang fenomenal telah ditulisnya, seperti al-Qanun fi at-Tibb (Prinsip-Prinsip Kedokteran). Kitab ini merupakan ensiklopedi kedokteran dan kesehatan yang menjadi rujukan utama dan paling otentik.
Tak hanya dari kalangan pria, sejarah mencatat keberadaan dokter dari kalangan muslimah. Beberapa di antaranya adalah Ukhtu al-Hufaid bin Zuhur dan putrinya, menjadi dokter wanita yang bekerja di Istana Khalifah al-Mansur di Andalusia. Ada pula Zainab, ahli penyakit mata dan ilmu bedah zaman Bani Umayyah.
Rumah Sakit Islam
Kontributor besar Islam dalam sejarah dunia kedokteran adalah pendirian rumah sakit. Raghib As-Sirjani (2016), dalam “Sumbangan Peradaban Islam Bagi Dunia” menyebutkan Rumah Sakit Islam pertama kali dibangun sejak abad pertama Hijriah di masa Kekhilafaan Umawiyah. Rumah sakit bagi penderita Kusta ini dibangun pada masa Walid bin Abdul Malik (86-96 H).
Pada masa kejayaan Islam, rumah sakit tidak hanya berfungsi sebagai tempat perawatan dan pengobatan pasien, tetapi juga tempat melakukan riset dan pengembangan. Mustafa Assiba’i (1968) dalam Min Rawai’ Hadharatina (Diantara Keindahan Peradaban Kita) menyebutkan adanya wakaf kesehatan yaitu rumah sakit atau dikenal dengan Bimaristan, yang juga digunakan sebagai lembaga pendidikan dan penelitian kedokteran. Sebagai contoh adalah Bimaristan pertama dibangun oleh Khalifah Umayyah al-Walid bin Abdul Malik (Damaskus tahun 88 H).
Pada masa itu, dikenal ada dua jenis rumah sakit (RS), yaitu RS permanen dan RS berpindah. Rumah sakit umum permanen sebagian besar sudah memiliki spesialisasi, seperti: penyakit dalam, operasi, kulit, mata, jiwa, dan tulang. RS ini terletak di kota-kota besar seperti RS Adhudi di Baghdad (371 H), RS Nuriy di Damaskus (549 H), serta RS Manshuriy di Kairo (683 H).
Majunya kedokteran Islam melalui beberapa proses dan didukung oleh banyak faktor. Di antara faktor penopangnya adalah; a) penerjemahan buku-buku kedokteran, b) lahirnya cendekiawan muslim, c) dukungan khalifah, d) pembangunan sekolah dan universitas, e) berdirinya rumah sakit dan klinik keliling, serta f) dukungan dana wakaf,
Warisan kedokteran Islam tidak hanya menjadi kenangan masa lampau. Melalui karya para ilmuwan kedokteran dan jejak karya kelembagaan kedokteran yang dibangun, generasi masa kini dapat menciptakan sejarah kegemilangan baru bidang kesehatan. Di sinilah etos keilmuan, filantropi dan enterpreneur Islam di sektor kesehatan perlu dikembangkan secara sinergi, berjejaring, dan berkesinambungan. Wallahu a’lam. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Maret 2021>
Penulis: Mukhamad Shokheh (Dosen Ilmu Sejarah Unnes)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *