Hadila – “Wahai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari siksa api neraka, yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (Q.S. At-Tahrim: 6)
Ayat di atas mungkin sudah sangat familiar bagi para orang tua. Sebagian sudah hafal di luar kepala. Namun sengaja kembali diangkat dalam tulisan ini sebagai bentuk tadzkiroh (peringatan). Karena bagi orang yang beriman, tadzkiroh itu akan selalu bermanfaat baginya meski berulang-ulang disampaikan, “Dan berilah peringatan, karena peringatan itu bermanfaat bagi orang yang beriman.” (Q.S. Adz-Dzariyāt: 55)
Ayat di atas jelas berisi perintah bagi orang-orang Mukmin untuk menjaga dirinya dan keluarganya dari api neraka. Lalu bagaimana caranya? Qatadah menjelaskan, “Menjaga keluarga dari neraka adalah dengan memerintahkan mereka untuk bertakwa kepada Allah dan melarang mereka dari kemaksiatan kepada-Nya, mengatur mereka dengan perintah-Nya, menyeru mereka untuk melaksanakan perintah-Nya, dan membantu mereka untuk melaksanakan perintah-Nya. Maka jika kalian melihat suatu kemaksiatan yang merupakan larangan Allah, maka kalian harus menghentikan dan melarang keluarga kalian dari kemaksiatan tersebut.” (Ibnu Katsir, Tafsir At-Tahrim: 6)
Adapun Imam Thabari dalam menafsirkan ayat ini lebih fokus pada pengajaran. Bahwa hendaknya sebagian kita mengajarkan kepada sebagian yang lain perkara yang dengannya orang yang kita ajari bisa menjaga diri dari neraka. Yaitu mengajarkan ketaatan kepada Allah. Maka kita ajari keluarga kita cara melakukan ketaatan kepada Allah yang dengannya akan menjaga diri mereka dari neraka. (Tafsir Ath-Thabari: 23/491)
Untuk bisa menjaga anak-anak kita dari api neraka, yang pertama kali harus dilakukan orang tua adalah menjaga diri sendiri darinya. Itu jelas tersurat dalam ayat di atas, dimana kalimat “anfusakum” (diri kalian sendiri) disebut sebelum kalimat “ahlikum” (keluarga kalian). Ini bukan hanya karena orang yang tidak memiliki sesuatu ia tidak akan bisa memberi sesuatu tersebut (faqidussyai’ laa yu’thih), akan tetapi juga karena menjauh dari siksa neraka itu perlu keteladanan (qudwah).
Di akhir ayat tersebut, Allah mendeskripsikan bagaimana mengerikannya api neraka: “Yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya malaikat-malaikat yang kasar nan kera.” Cara yang Allah lakukan ini bisa juga kita lakukan dalam menjaga anak kita dari siksa api neraka, yaitu dengan menggambarkan betapa pedihnya siksa neraka. Ini merupakan praktik dari Uslub Tarhib, yaitu metode pendidikan dengan memberikan peringatan atau menakut-nakuti. Tentu harus didahului dan diimbangi dengan Uslub Targhib, yaitu memotivasi dan memberi kabar gembira akan indahnya dan nikmatnya surga.
Materi surga dan neraka penting untuk menjadi kurikulum pendidikan anak kita hingga dewasa bahkan menua. Untuk anak kecil, sebaiknya disampaikan dengan bertahap saat anak memasuki usia tamyiz (mulai mempunyai daya nalar atau bisa membedakan baik-buruk). Pada usia 7-9 tahun bisa disampaikan secara global, tanpa deskripsi yang detail (khususnya neraka) seperti dalam Al-Qur’an dan hadis. Ini jika diqiyaskan dengan tahapan perintah solat untuk anak.
Adapun usia di bawah itu, sebaiknya lebih banyak disampaikan tentang kesenangan surga sesuai dengan perbendaharaan kata dan macam-macam kesenangan yang bisa dilogika dengan baik oleh anak. Pada usia tersebut, materi tentang neraka sebaiknya ditahan dulu, agar tidak terpendam ketakutan, kebencian dan memori yang buruk tentang Allah dan agama.
Sekali lagi, ayat ini adalah peringatan bagi para orang tua langsung dari Allah Ta’ala untuk menjaga amanah anak dari siksa api neraka. Jika orang tua tidak serius menunaikan amanah itu di dunia, maka anak-anak itu akan menjadi beban hisab di akhirat sana. Karena setiap pemimpin pasti akan dimintai pertanggungjawaban, termasuk pemimpin keluarga. Sebagaimana sabda Nabi, “Seorang laki-laki adalah pemimpin dalam keluarganya, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya.” (Muttafaq ‘Alaihi). <>
Penulis: Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc. M.A. (Direktur PPTQ Ibnu Abbas Klaten)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *