Hadila – Oleh: Dr. Hakimuddin Salim, Lc. MA. (Direktur Ponpes Ibnu Abbas, Klaten)
قال الله تعالى: فَلَمَّا وَضَعَتْهَا قَالَتْ رَبِّ إِنِّى وَضَعْتُهَآ أُنثَىٰ وَٱللَّهُ أَعْلَمُ بِمَا وَضَعَتْ وَلَيْسَ ٱلذَّكَرُ كَٱلْأُنثَىٰ ۖ وَإِنِّى سَمَّيْتُهَا مَرْيَمَ وَإِنِّىٓ أُعِيذُهَا بِكَ وَذُرِّيَّتَهَا مِنَ ٱلشَّيْطَٰنِ ٱلرَّجِيمِ (آل عمران: ٣٦)
“Maka tatkala istri ‘Imran melahirkan anaknya, ia pun berkata, ‘Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkan seorang anak perempuan; dan Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya aku telah menamai dia Maryam dan aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya kepada-Mu daripada syaitan yang terkutuk.” (Q.S. Ali-Imran: 36)
Sebagaimana diceritakan dalam ayat sebelumnya, ketika itu istri Imran bernazar kepada Allah Ta’ala bahwa anaknya yang masih dalam kandungan akan dijadikan sebagai “muharrar,” yaitu ahli ibadah yang mengabdi dan berkhidmat menjaga Baitul Maqdis.
Namun, sebagaimana disebutkan pada ayat di atas, ternyata anak yang dilahirkannya itu adalah adalah perempuan. Dalam ayat ini ada faedah tarbawiyah yang bisa kita ambil terkait pendidikan anak, terutama tentang besarnya karunia anak perempuan.
Dalam menjelaskan “Ya Tuhanku, sesunguhnya aku melahirkannya seorang anak perempua,”, As-Sa’di dalam tafsirnya menyebutkan, bahwa sebenarnya istri Imran berharap anak yang dilahirkannya adalah lelaki, karena lelaki dinilai lebih mampu untuk berkhidmat menjaga Baitul Maqdis. Dalam perkataannya itu terasa ada semacam penyesalan. Tentu penyesalan itu bukan atas karunia anak perempuan, tetapi penyesalan karena tidak bisa mewujudkan nazarnya.
Adapun pada ayat, “Anak laki-laki tidaklah seperti anak perempuan,: Imam Thabari menjelaskan, hal itu karena lelaki dianggap lebih kuat dan lebih mampu berkhidmat melayani Baitul Maqdis sesuai dengan kondisi fisik dan tabiatnya, sedangkan perempuan tidak cocok untuk melakukannya, karena tidak selalu bisa berada di dalamnya disebabkan oleh haid atau nifas.
Padahal, anak perempuannya itu (Maryam) kelak akan lahir darinya seorang Nabi dan Rasul agung yang bernama Isa ‘alaihissalam. Di mana kedudukan seorang Nabi dan Rasul jelas lebih istimewa daripada “sekadar” pelayan atau penjaga Baitul Maqdis. Maka ditegaskan, “Allah lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu.” Di sini pelajaran bagi orang tua untuk senantiasa memupuk tawakal, qona’ah dan husnuzhon kepada Allah Ta’ala atas apa yang Ia karuniakan.
Terkait anak perempuan, ada sejarah kelam di zaman jahiliah sebelum Islam, di mana mereka selalu merasa kecewa, hina dan sial, ketika mendapatkan anak perempuan. Allah Ta’ala berfirman, “Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan, hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan ia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu.” (Q.S. An-Nahl: 58-59)
Padahal bagi Allah, anak perempuan mempunyai keistimewaan tersendiri, “Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Ia menciptakan apa yang Ia kehendaki. Ia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Ia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Ia kehendaki.” (Q.S. Asy-Syuuroo: 49-50)
Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah menjelaskan dalam kitabnya Tuhfatul Maudud, bahwa dalam ayat ini Allah mendahulukan penyebutan anak perempuan (inats) sebelum anak laki-laki (dzukur), sebagai sebuah pemuliaan (tasyrif) kepada anak perempuan dan membantah anggapan orang-orang yang meremehkannya.
Anak perempuan justru bisa menjadi penghalang dari siksa neraka, sebagaimana sabda Rasulullah, “Barang siapa dikaruniai tiga anak perempuan, lalu ia bersabar atasnya, memberi makan-minum, dan pakaian dari jerih payahnya, maka mereka akan menjadi hijab baginya dari neraka.” (H.R. Imam Ahmad)
Ibnu Hajar dalam Fathul Bary berpendapat, bahwa keutamaan itu juga berlaku bagi yang dikaruniai dua anak perempuan dan satu anak perempuan, berdasarkan beberapa riwayat yang terkait dengan itu. Bahkan siapa yang bisa mengayomi anak perempuan, memelihara dan mendidiknya dengan baik, akan menjadi sebab masuk surga dan berdekatan dengan Rasulullah, sebagaimana beliau sabdakan, “Barang siapa yang mengayomi dua anak perempuan hingga dewasa maka ia akan datang pada hari kiamat bersama dengank.” Anas bin Malik berkata, “Nabi menggabungkan jari jemari beliau.” (H.R. Muslim)
Dalam riwayat yang lain, “Aku dan dia masuk surga seperti dua jari ini”, dan beliau mengisyaratkan dengan dua jari beliau. (H.R. Tirmidzi)
Sisi karunia yang lain dari anak perempuan, khususnya bagi para ayah, adalah ia bisa memperlembut jiwa dan akhlak, karena kelembutan adalah kunci utama dalam sukses berinteraksi dengan perempuan. Disamping itu, adanya kepuasan sebagai laki-laki yang bisa mengayomi dan menaungi perempuan; sebuah perasaan berbagi yang altruistik.
Lebih dari itu, dari kacamata peradaban, membina satu anak perempuan adalah membina satu generasi. Karena ketika anak perempuan itu berhasil dididik menjadi seorang yang shalihah, mu’allimah, mushlihah, murobbiyah; bukan hanya akan menjadi istri yang hebat, tetapi kelak ia akan menjadi ibu hebat yang melahirkan generasi yang hebat. Sejarah telah mencatat, bahwa dibalik tokoh-tokoh ulama, pemimpin, pejuang, dan para reformis yang hebat; selalu ada ibu atau istri yang hebat. <Dimuat di Majalah Hadila edisi Oktober 2021>
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *