Hadila.co.id—Tak ada kecerdasan instan. Apalagi kedewasaan. Kita mungkin bisa menjadikan seorang anak tiba-tiba tampak hebat karena mampu menggambar, menulis atau membaca dengan mata tertutup.
Namun sangat berbeda antara kemampuan menebak, mengindera dan mengenal dengan kemampuan mencerna, memahami, memikirkan dan mengembangkan sebuah konsep. Hari ini, banyak orangtua yang sibuk menjadikan anaknya tampak hebat, tetapi lupa membangun pilar kehebatan itu sendiri.
Sesungguhnya, taraf kemampuan kognitif anak bertingkat-tingkat secara hirarkis. Dan pendidikan berkewajiban mengantarkan setiap anak agar mampu mencapai taraf kognitif yang tertinggi.
Taraf paling rendah adalah pengetahuan; kemampuan mengetahui, mengenal dan mengingat apa-apa yang sudah ia pelajari dan bisa menyampaikan kepada orang lain. Di negeri ini, pelajaran di kelas dan ujian di sekolah kerapkali hanya menakar kemampuan pengetahuan. Berbagai teknik yang banyak diperkenalkan kepada masyarakat umumnya sebatas membantu anak mencapai kemampuan pengetahuan. Bukan mengembangkan kemampuan berpikir. Lebih-lebih cara berpikir.
Tetapi yang kita lihat: atraksi kebolehan yang menunjukkan trik perubahan cepat luar biasa yang katanya membangun karakter anak! Padahal yang dimaksud hanya sebatas kemampuan kognitif. Paling jauh keterampilan sosial yang bernama sopan santun. Sopan santun sangat berbeda dengan karakter. Sebagai keterampilan, sopan santun merupakan bagian dari kecakapan sosial, berkait dengan kualitas personal pada diri seseorang.
Karakter bermula dari kesadaran terhadap nilai-nilai, kesediaan untuk menerapkan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari, penghayatan nilai, pengorganisasian nilai dan karakterisasi diri (memilih nilai sebagai gaya hidup dimana sistem nilai yang terbentuk mampu mengawasi tingkah lakunya)
Ada proses panjang sebelum karakter terbentuk dalam diri seseorang, bukan sekadar keterampilan. Ia merupakan perwujudan nilai-nilai yang memengaruhi pikiran, cara pandang, penghayatan dan gaya hidup kita.
Menjadi penakar dalam menentukan sebuah tindakan patut atau tidak, mulia atau hina. Ia berangkat dari kesadaran. Bukan pengetahuan. Kesadaran merupakan tingkat terendah dari kemampuan afektif. Ini berarti, sekadar pintar tak berpengaruh pada karakter.
Setingkat di atas pengetahuan adalah pemahaman. Pada tingkat ini, anak mengerti dengan baik apa yang dipelajari. Bukan semata anak mengingat dengan baik dan mampu menyampaikan kembali secara gamblang, tetapi pendidik merangsang kemampuan berpikir anak sehingga mereka memahami apa yang diterangkan. Pemahaman tidak berpengaruh terhadap perilaku. Pemahaman baru akan bermanfaat menuntun dan mengarahkan perilaku anak-anak kita jika mereka telah menghayati nilai-nilai agama ini dengan baik.
Itu pula yang menerangkan mengapa anak yang telah memahami baik-buruknya sesuatu, tidak berubah perilakunya. Kecerdasan memengaruhi kemampuan mengingat, mencerna dan memahami sesuatu. Sedangkan keyakinan mendorong orang untuk menggunakan seluruh kemampuannya agar bisa melakukan apa yang telah menjadi keyakinannya, meskipun bertentangan dengan pemahamannya.
Kembali pada jenjang-jenjang kemampuan kognitif. Setingkat di atas pemahaman adalah penerapan, yakni kemampuan menggunakan hal-hal yang telah dipelajari untuk menghadapi situasi-situasi baru dan nyata. Ini erat kaitannya dengan kecakapan untuk menerapkan apa yang telah ia ketahui. Anak bisa melakukan salat dengan sangat baik bukan karena yakin dan suka, tetapi karena ia memahami betul tata-cara salat yang baik.
Jenjang kemampuan berikutnya adalah analisis. Mampu menjabarkan sesuatu menjadi bagian-bagian sehingga struktur organisasinya dapat dipahami. Jika kemampuan ini berkembang lebih lanjut, ia akan sampai pada taraf kognitif yang lebih tinggi, yakni sintesis. Ini merupakan kemampuan memadukan bagian-bagian menjadi keseluruhan yang berarti, menemukan benang merah berbagai pengetahuan yang berserak menjadi satu kesatuan yang utuh dan bermakna.
Tingkat tertinggi kemampuan kognitif adalah penilaian. Kemampuan memberikan penilaian terhadap sesuatu berdasarkan yang ditetapkan terlebih dahulu, baik bersifat internal maupun eksternal. Di tingkat inilah seseorang mencapai tingkat pemahaman yang mendalam (faqih). Dan amat sedikit orang yang mencapai kemampuan ini.
Lebih-lebih sekolah -begitu pula orangtua- lebih banyak menyibukkan diri untuk memacu kemampuan kognitif terendah, yakni pengetahuan atau paling jauh pemahaman. Kita sudah cukup bangga jika anak mengingat dengan baik, mampu menirukan secara sempurna dan menerangkan secara gamblang pelajaran yang telah mereka terima. Kita telah menganggap jenius anak-anak yang hanya menggunakan kemampuan kognitif terendah. Wallahu a’lam bish-shawab.<Rubrik Kolom Faudzil Adhim Hadila Edisi 87 September 2014>