Hadila – Asalamualaikum, Ustazah. Bagaimana cara supaya kita bisa merasakan nikmatnya beribadah kepada Allah. Jujur belakangan ini hati saya terasa kosong. Saya beribadah seperti biasa, tetapi itu jadi rutinitas saja. Setelah ibadah, tidak ada ‘getaran’ apa pun dalam hati saya. Apakah ada yang salah dengan ibadah/diri saya, lalu apakah ibadah saya ini bisa diterima Allah, dan bagaimana solusinya? (Hasna, Klaten)
Konsultan: Ustazah Nur Silaturrohmah, Lc. (Dosen Ma’had Abu Bakar Putri)
Wa’alaikumussalaam Wr. Wb., Saudari Hasna di Klaten, yang dimuliakan Allah. Sebagai seorang muslim, pasti kita sangat mendambakan kenikmatan dalam beribadah, apalagi salat. Sebab, tidak ada nikmat yang lebih berharga melebihi kenikmatan yang Allah berikan saat kita sedang bermunajat kepada-Nya. Sehingga di saat lelah, Rasulullah pun mengistirahatkan fisik beliau dengan salat.
Namun, tak semua hamba mampu meraih dan mempertahankannya dalam waktu yang lama, karena kenikmatan itu muncul dari dalam hati dan perasaan kita, dan dipengaruhi banyak faktor internal dan eksternal. Kenikmatan tersebut cenderung bisa dirasakan saat kita beribadah dengan rasa rida dan cinta kepada Allah, juga rasul-Nya.
Rasulullah bersabda, “Akan merasakan manisnya iman, seorang yang rida Allah sebagai Rabb-nya, Islam sebagai agamanya, dan Muhammad Saw sebagai rasul.” [H.R. Muslim]
Beliau juga bersabda, “Tiga sifat yang jika ada pada diri seseorang, ia akan meraih manisnya iman, Allah dan Rasul-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, ia mencintai seseorang, tidaklah mencintainya melainkan karena Allah, ia membenci untuk kembali kepada kekafiran setelah Allah menyelamatkannya darinya sebagaimana ia benci apabila dilempar ke dalam neraka.” [H.R. Muslim]
Sebagaimana iman yang selalu pasang surut, hati pun demikian. Kita semua, termasuk saya pun sering merasakannya. Terkadang kita bisa merasakan kenikmatan saat beribadah, merasakan manfaatnya seperti rasa tenang. Akan tetapi, tak jarang kita merasakan kehampaan dalam hati usai menunaikannya.
Hal seperti itu sangat bisa dimaklumi karena manusia memang diciptakan dengan potensi baik dan buruk yang selalu tarik menarik setiap waktu. Dari sinilah pentingnya kita bermuhasabah dan memperbaikinya.
Para salafus-shalih mengatakan bahwa jasad itu sama seperti fisik, kadang sehat, kadang sakit. Badan kita sakit karena penyakit, sedangkan hati sakit karena dosa. Maka, sebagaimana jasad tidak dapat merasakan lezatnya makan ketika sakit, begitu pula hati, ia tidak mampu mengecap nikmatnya ibadah karena berbagai maksiat dan dosa.
Tidaklah seorang hamba yang melakukan sebuah dosa, melainkan akan lenyap darinya sebuah kenikmatan dari Allah sesuai besarnya dosa tersebut. Maka, jika ia bertobat serta kembali kepada Allah, niscaya nikmat tersebut atau yang semisal dengannya akan kembali kepadanya.
Allah berfirman, “Kecuali orang-orang yang bertobat, beriman, dan mengerjakan amal saleh; maka itu kejahatan mereka diganti Allah dengan kebajikan. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” [Q.S. Al-Furqan: 70]
Setelah membersihkan diri dari dosa agar ibadah kembali terasa nikmat, kita berusaha untuk ihsan dalam beribadah, menghadirkan hati bahwa kita sedang berdiri di hadapan Allah. Jika tidak mampu, kita harus berusaha merasakan bahwa Allah melihat dan mengawasi hingga kita fokus dalam beribadah kepada-Nya; memberikan perhatian, menghadirkan hati, mengingat kebesaran dan kebaikan-Nya, mengingat surga, neraka, juga kematian.
Semua ini merupakan sebab-sebab yang bisa mendatangkan manisnya keimanan, kelezatan dalam bermunajat kepada Allah, merasa nikmat saat membaca Al-Qur’an serta berdoa kepada-Nya. Semua itu akan lebih mudah kita lakukan jika kita mampu merasakan bahwa ibadah adalah kebutuhan, bukan sekadar rutinitas dan kewajiban.
Salah satu caranya dengan menganggap ibadah sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah. Diriwayatkan dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah Ra, bahwa telapak kaki Nabi Saw sampai bengkak karena banyaknya beliau mengerjakan salat malam, padahal dosa-dosa beliau sudah diampuni Allah, baik yang telah berlalu maupun yang akan datang. Maka beliau bersabda, “Apakah aku tidak boleh menjadi hamba yang bersyukur?” [H.R. Al-Bukhari dan Muslim]
Ahmad bin Harb Ra juga pernah berkata, “Aku telah beribadah kepada Allah selama 50 tahun, dan tidaklah kudapati kenikmatan beribadah melainkan setelah kutinggalkan tiga perkara: (1) Kutinggalkan mencari rida manusia, sehingga aku sanggup mengatakan kebenaran, (2) Kutinggalkan pertemanan dengan orang-orang yang gemar berbuat kerusakan, sehingga aku mendapat teman-teman yang saleh, (3) Kutinggalkan kenikmatan dunia, sehingga aku mendapat kenikmatan akhirat.”
Maka, jika kita belum bisa tenggelam dalam kenikmatan beribadah, bisa jadi salah satu dari poin di atas atau bahkan ketiganya masih melekat dalam diri kita. Jika kita belum mampu merasakan kenikmatan dalam beribadah, minimal kita melakukannya secara baik, dengan memperhatikan syarat dan rukunnya, sehingga ibadah kita dinilai sah secara hukum. Wallahu a’lam bish-shawwaab. <>
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *