hadila – Aku kmren berantem lg sama suamiku. Aku cuma pengen di ngertiin doang. Aku capek urus rumah sendiri. Aku capek urus anak sendiri. Aku capek apa2 sendiri. Trus dia kerjanya abis pulang kerja main HP, enggak ajak anak main-main. HP, HP, HP, dan HP. Ini adalah isi tangkapan layar chat WhatsApp yang selanjutnya di-posting oleh sebuah akun Twitter hingga mendapat banyak tanggapan dari netizen beberapa waktu lalu. Ketika membacanya, kita mungkin dapat merasakan betapa geramnya sang istri kepada suaminya yang setiap hari lebih asyik bermain HP, hingga abai dengan anak dan istrinya.
Sahabat, seperti yang kita ketahui bersama, kehidupan rumah tangga memang pasang-surut. Ada kalanya kita dilimpahi kebahagiaan bersama pasangan, tetapi ada saatnya juga kita mendapat berbagai permasalahan. Hal ini sebenarnya wajar, tetapi jika tidak disikapi dengan benar, dampaknya bisa fatal.
Curhatan di atas salah satu contohnya. Mungkin penyebab masalah tersebut hanya karena suami terlalu sibuk dengan HP—hal yang cukup sepele. Namun, jika hal itu terjadi berlarut-larut, tanpa ada penyelesaian yang tepat, bukan tidak mungkin konflik yang lebih besar dapat terjadi. Ini seperti efek domino.
Hal yang sama juga bisa terjadi ketika suami lebih senang memancing daripada berkumpul bersama keluarga, istri lebih tertarik menonton drama daripada berbincang dengan keluarga, maupun hal-hal serupa lainnya. Artinya, ketika suami atau istri mulai berubah ke arah yang tidak disukai pasangannya, hal tersebut bisa memudarkan—bahkan menghilangkan—rasa cinta.
Tanpa Cinta, Tak Akan Bahagia
Menurut penelitian yang terbit dalam jurnal NCBI EMBO Reports tahun 2013, sebagaimana dikutip dari Fimela.com, tanpa adanya perasaan cinta dalam hubungan, manusia akan gagal berkembang dan merasa bahagia, bahkan jika semua kebutuhan terpenuhi.
Sukmadiarti Perangin-angin, M.Psi., Psikolog., konselor pernikahan asal Semarang, mengungkapkan betapa pentingnya keberadaan cinta dalam membangun rumah tangga. Menurutnya, cinta bisa mengubah segala sesuatu. “Cinta bisa mengubah kemarahan menjadi keridaan, melunturkan kebencian, rasa dendam, rasa dengki, sakit hati dan seterusnya. Maka hadirkan cinta untuk membuat kehidupan, pernikahan, dan keluarga kita, termasuk diri kita bahagia lahir-batin,” jelasnya.
Walau begitu, ia juga menyebutkan bahwa tidak ada pernikahan seideal apa pun yang tidak punya masalah, sekalipun kita sudah menemukan pasangan terbaik dengan cinta. “Jadi masalah bukan untuk dihindari, tetapi untuk dihadapi, karena tidak ada yang tahu kapan masalah akan terjadi,” ujar Sukmadiarti.
Selanjutnya, ia membagikan tips untuk menjaga cinta antara suami dan istri agar tetap ada dan bersemi, walau umur pernikahan sudah semakin bertambah. Menurutnya, hal tersebut bisa dilakukan dengan membuat pasangan merasa dicintai, dan hal ini sangat erat kaitannya dengan pemahaman kita terhadap bahasa cinta pasangan masing-masing.
Memahami Bahasa Cinta Pasangan
Dalam buku The Five Love Languages, sang penulis, Gary Chapman menjelaskan lima bahasa cinta yang bisa digunakan untuk membuat pasangan merasa dicintai. Apa saja itu? Pertama, sentuhan (physical touch). Sentuh pasangan, misalnya dengan dipeluk, cium tangan, gandengan setiap hari.
Kedua, hadiah (receiving gifts). Di momen-momen spesial, bisa berikan hadiah spesial, kejutan, untuk pasangan kita, sehingga dia merasa dicintai. Ketiga, pelayanan (acts of services). Kita layani pasangan kita dengan sebaik-baiknya. Misal, suami bisa melayani dengan mengantar istri berbelanja atau istri menyiapkan minum ketika suami pulang kerja, dan sebagainya.
Keempat, waktu yang berkualitas (quality time). Setiap pasangan perlu memiliki waktu berkualitas dengan membangun komunikasi berdua saja, misalnya sebelum tidur dengan pillow talk, atau momen-momen lain. Kalau ada waktu luang, bisa jalan berdua atau melakukan hobi bersama.
Kelima, kata-kata positif (words of affirmation). Maksudnya adalah banyak memberi pujian, apresiasi, kata-kata yang menyejukkan hati pada pasangan. “Royal-lah dalam memberikan pujian atau apresiasi kepada pasangan, karena itu bisa membuat pasangan kita merasa dihargai dan dicintai. Itulah yang akan membuat cinta tumbuh terus dan bersemi di hati kita satu sama lain,” tegas Sukmadiarti.
Satu dari lima bahasa cinta itu pula yang diterapkan seorang istri di Bekasi untuk menjaga keharmonisan rumah tangganya hingga kini memasuki usia ke-13 tahun. Ade Seplina, menikah dengan suaminya pada 2010 lalu, dan kini telah dikaruniai dua orang anak. Perjalanan rumah tangga Ade hingga mencapai tahun ke-13 ini tidak dilalui dengan mudah, bahkan di awal masa pernikahan, selama beberapa tahun, ia dan suami harus menjalani Long Distance Marriage (LDM) atau hubungan pernikahan jarak jauh. Kala itu, suami harus bekerja di luar kota dan hanya bisa pulang beberapa bulan sekali.
“Kami mengandalkan kepercayaan dan komunikasi. Jadi, kami saling percaya dan selalu menjalin komunikasi, walau jarak jauh. Ketika suami pulang, kami juga benar-benar menggunakan waktu kebersamaan tersebut dengan sebaik-baiknya,” cerita Ade.
“Tapi yang namanya rumah tangga, pasti ya ada permasalahan. Yang hidup seatap aja bisa bermasalah, apalagi kami yang LDM. Pernah tiba-tiba suami nggak bisa dihubungi tanpa kabar, saya kan jadi nggak tenang. Itu jadi masalah. Untungnya waktu memutuskan untuk menikah dulu, kami sudah komitmen dan tahu kondisi masing-masing, kami sudah tahu kalau bakal LDM dan siap dengan segala konsekuensinya. Akhirnya, ketika ada masalah, kita sama-sama mengontrol emosi dulu, lalu kalau kepala sudah dingin baru membahasnya. Alhamdulillah bertahan sampai sekarang, dan semoga bisa seterusnya,” lanjut perempuan 36 tahun tersebut.
Menjaga Kesetiaan
Dalam rumah tangga Ade, beruntung keduanya bisa sama-sama saling percaya dan mampu menjaga kepercayaan tersebut, sehingga bisa langgeng hingga belasan tahun. Namun, tidak sedikit pasangan yang berbanding terbalik dengan Ade dan suaminya. Diberi kepercayaan, tetapi malah disalahgunakan. Di rumah seolah baik-baik saja, tetapi di luar ternyata punya simpanan. Tidak setia.
Memang ada pepatah yang mengatakan bahwa rumput tetangga selalu tampak lebih hijau. Namun, wajarkah jika hal tersebut diamini dan membuat seseorang tertarik pada orang lain ketika sudah memiliki pasangan? Terkait hal ini, Sumadiarti menjelaskan bahwa sebenarnya setiap orang itu bisa setia, semua bergantung pada niatnya.
“Kalau seseorang itu punya komitmen dalam pernikahan, maka itulah yang bisa menjaga keutuhan dalam rumah tangganya. Tapi kalau dalam dirinya sendiri tidak ada komitmen, maka ketika ada godaan, atau ketika ada masalah maupun tantangan, bisa menjadi pelarian dengan mencari ‘suasana’ berbeda di luar, dengan selingkuh, misalnya,” terangnya.
Sumadiarti melanjutkan, itu sebabnya perlu memiliki komitmen dalam pernikahan. “Luruskan niat, pasti pasangan punya kekurangan, tidak sempurna, maka bagaimana caranya kita belajar untuk saling melengkapi satu sama lain, tidak mencari kesempurnaan, tapi belajar ikhlas menerima pasangan apa adanya atau disebut dengan unconditional love (cinta tanpa syarat),” katanya.
Ketika Pasangan Mulai Berubah
Ada beberapa upaya yang bisa Sahabat lakukan untuk menghadapi sikap pasangan yang mulai berubah—ke arah yang tidak baik. Di antaranya adalah dengan saling mengingatkan, mencari tahu penyebabnya, tidak justru membiarkan.
“Mengingatkan dengan cara apa? Tentu dengan cara yang baik, santun, asertif. Kita menyampaikan pesan, teguran, nasihat, masukan kepada pasangan tanpa membuat dia tersinggung ataupun tersakiti,” papar Sukmadiarti.
Nah, untuk bisa menyampaikan pesan secara asertif ini, kita butuh jeda dulu. Jadi, kalau kita terpancing marah karena suatu peristiwa atau kenyataan yang menyakitkan, beri jeda sebelum merespons. Tujuannya adalah untuk memberikan jeda pada diri, mengelola emosi, sehingga tenang dulu, dan respons kita bisa lebih terkendali. <Ibnu Majah/Dimuat di majalah Hadila cetak edisi Februari>