Hadila – Di Indonesia, menurut Badan Pusat Statistik (BPS) per November 2023, jumlah penduduk yang bekerja sebanyak 139,85 juta orang dengan upah rata-rata Rp3,18 juta. Di antara mereka, masih banyak yang belum mendapatkan hak di tempat kerja sebagaimana mestinya. Hal ini bisa dilihat dari masih banyaknya aksi unjuk rasa yang dilakukan para buruh di berbagai daerah untuk menuntut hak-hak mereka.
Di sisi lain, beragamnya jenis pekerjaan yang ada membuat waktu kerja setiap orang berbeda-beda. Ada yang dimulai dari pagi hingga sore hari, ada pula yang dimulai malam hingga pagi hari. Bahkan, tidak sedikit orang yang jam kerjanya tidak menentu. Hal ini tentunya berpengaruh pada banyak hal.
Miftahul Huda salah satunya. Customer Service (CS) di salah satu perusahaan telekomunikasi di Semarang ini mengaku tak memiliki waktu kerja yang pasti. Hal itu karena perusahaannya menerapkan sistem shifting bagi para karyawan. Artinya, kadang ia bisa bekerja di pagi hari, kadang bisa di malam hari.
“Untuk ibadah, khususnya salat, sebenarnya nggak ada masalah. Toh itu nggak terlalu lama. Cuma, kalau kebetulan dapat shift sore, kan melewati waktu magrib. Kadang-kadang itu pas lagi crowded, jadi harus curi-curi waktu buat salat,” terang Huda, sapaan akrabnya. Ia sendiri jarang mengalami hal tersebut, sebab jam kerjanya lebih sering di malam hingga pagi hari.
Pengalaman serupa juga diceritakan Ngadimin, mantan Satuan Pengamanan (Satpam) di salah satu hotel di Solo. Dulu ketika dirinya masih menjadi Satpam, ia kerap meninggalkan salat Jumat berjemaah di masjid karena harus bertugas. Padahal, salat Jumat adalah salah satu kewajiban bagi setiap muslim.
“Kalau dapat tugas pas hari Jumat, ya nggak bisa Jumatan. Mau gantian sama teman, nggak bisa, soalnya teman juga muslim. Sebelumnya, sempat ada Satpam yang nonmuslim, jadi bisa tukar shift kalau saya dapat jatah hari Jumat, tapi dia kemudian keluar,” kisah warga Sukoharjo tersebut.
Beruntung ia segera mendapat tawaran pekerjaan lain yang lebih fleksibel. Akhirnya Ngadimin memutuskan untuk resign dan memilih pekerjaan baru tersebut.
Menurut Ustaz Dr. Moh. Muchtarom, S.Ag., M.S.I., Dosen Prodi PPKn dan Mata Kuliah Umum (MKU) Pendidikan Agama Islam di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, ibadah adalah tugas utama seorang muslim, sehingga sebelum melakukan aktivitas lain, semestinya ibadahlah yang diutamakan.
“Kita harus kembali kepada hakikat kita diciptakan oleh Allah. Hal ini dijelaskan dalam Surah Az Zariyat ayat 56, yang artinya, “Tidaklah Aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” Maka tugas utama manusia ialah beribadah kepada Allah, sebelum melakukan hal-hal yang lainnya,” terang Ustaz Muchtarom, Selasa (19/3/2024).
Oleh sebab itu, dalam bekerja—entah sebagai karyawan maupun pengusaha, seorang muslim tidak boleh sampai melupakan ibadah. Bahkan, Ustaz Muchtarom menegaskan bahwa sesibuk apa pun pekerjaan kita, tidak boleh menjadi alasan untuk meninggalkan kewajiban menunaikan ibadah kepada Allah.
“Masalahnya kan banyak di antara kita yang lupa terhadap hal-hal seperti itu. Kita justru terlalu fokus terhadap dunia, lupa dengan kewajiban-kewajiban kepada Allah,” tambah Ustaz Muchtarom.
Oleh sebab itu, ia menyarankan agar kita banyak introspeksi diri. “Hidup kita tidak melulu soal urusan perut saja, urusan duniawi saja, tetapi harus ingat bahwa hidup kita nantinya akan berlanjut pada kehidupan akhirat,” tandasnya.
Menurut Ustaz Muchtarom, seseorang akan selamat dalam kehidupan akhirat ketika mampu menjalankan fungsi-fungsinya sebagai manusia dan mengimplementasikan perwujudannya sebagai hamba Allah di bumi ini.
Bekerja adalah Ibadah
Pada dasarnya, Islam menganggap semua aktivitas kebaikan sebagai bentuk ibadah. Secara fikih, terdapat dua jenis konsep ibadah, yaitu ibadah mahdhah dan ghairu mahdhah. Ustaz Muchtarom menjelaskan bahwa ibadah mahdhah adalah ibadah yang bersifat ritual, seperti salat, puasa, umrah, haji, dan lainnya. “Hal ini untuk membangun hubungan langsung dengan Allah, hablum minnallah,” jelasnya.
Sementara itu, ibadah ghairu mahdhah memiliki scope (cakupan) yang sangat luas. Termasuk dalam hal ini adalah orang mencari ilmu, bekerja mencari nafkah, menjaga kerukunan antartetangga, memberikan senyum, dan sebagainya. Dengan demikian, bekerja pun termasuk aktivitas ibadah yang insyaallah dapat memberikan pahala kepada orang-orang yang melakukannya.
Namun demikian, pernyataan tentang segala aktivitas kebaikan—termasuk di dalamnya bekerja—sebagai ibadah tersebut, dibarengi dengan beberapa syarat. Jika syarat-syarat ini tidak terpenuhi, aktivitas tersebut belum tentu dapat disebut sebagai ibadah.
Pertama, aktivitas harus diniatkan karena Allah Swt, sebab kalau tidak diniatkan karena Allah, aktivitas yang mulanya ibadah pun bisa menjadi bukan ibadah.
Misalnya, menurut Ustaz Muchtarom, orang yang melaksanakan salat, tetapi niatnya bukan karena Allah, maka hal tersebut tidak menjadi ibadah. “Sementara itu, orang makan dan minum dengan niat karena Allah, maka aktivitas makan dan minum itu pun menjadi sebuah kebajikan atau ibadah,” terangnya.
Hal tersebut sesuai dengan perintah Allah dalam Al-Qur’an Surah Al-An’am ayat 162, “Katakanlah: sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” Maksudnya, segala hal yang dilakukan di dunia ini mestinya dilakukan hanya untuk Allah, bukan yang lainnya.
Di ayat lain, Allah juga berfirman, “Mereka tidak diperintah, kecuali untuk menyembah (beribadah) kepada Allah dengan mengikhlaskan ketaatan kepada-Nya…” [Q.S. Al-Bayyinah: 5]
Kedua, aktivitas dilakukan sesuai rukun/syarat. Ibadah mahdhah sudah memiliki rukun yang jelas, demikian halnya dengan bekerja, tentu juga ada syarat-syaratnya. “Misalnya, dengan mencari rezeki dari sumber-sumber yang halal, untuk mendapatkannya juga dengan cara yang baik, dan yang terpenting aktivitas bekerja tersebut dilakukan untuk mendapat rida Allah Swt,” ujar Ustaz Muchtarom.
Jika demikian, insyaallah pekerjaan yang kita lakukan setiap hari, lelah yang kita rasakan setiap saat, bahkan keringat yang keluar setiap waktu, insyaallah akan bernilai ibadah.
Abu Hurairah Ra mengatakan bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya ada dosa-dosa yang tidak terhapuskan dengan melakukan salat, puasa, haji, dan umrah.” Para sahabat kemudian bertanya, “Lalu, apa yang dapat menghapuskannya, wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Bersemangat dalam mencari rezeki.”
Demikianlah konsep bekerja dalam Islam, ia bukan sekadar aktivitas untuk mencari nafkah atau harta, tetapi menjadi salah satu jalan mencapai keberkahan. Oleh sebab itu, mari pejuang nafkah untuk selalu semangat mengais rezeki yang ditebar Allah di setiap penjuru dunia. Mari yakin, bahwa semua perjuangan ini tidak ada yang sia-sia.
Bekerja mengejar dunia itu lelah, pun dengan bekerja untuk mengejar akhirat. Maka, jika sama-sama melelahkan, kenapa kita tak mengubah lelah tersebut menjadi lillah saja? Dunia dapat, insyaallah akhirat pun melekat! <Ibnu Majah/Dimuat di Majalah Hadila edisi Mei 2024>
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *