Hadila – Asalamualaikum, Ustazah. Saya pernah meminjam emas kepada saudara. Emas itu saya jual, dan uangnya saya gunakan untuk keperluan. Setelah beberapa tahun, saya harus mengembalikan utang saya. Harga emas sudah naik. Bolehkah saya mengembalikan utang tersebut dalam bentuk uang sejumlah harga jual emas saat ini (lebih besar dari nilai saat saya meminjam)? Atau apakah saya harus membayar dalam wujud emas juga dalam berat yang sama/uang seharga emas saat saya meminjam, atau sesuai kesepakatan di awal? Dalam Islam, bolehkan meminjam/berutang emas? Jika boleh, bagaimana skema pinjam-meminjam emas yang baik dan benar dalam Islam? [Nitya, Sragen]
Konsultan: Dr. Laily Dwi Arsyianti (Konsultan keuangan, Dosen IPB University_
Wa’alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Jika kita merujuk pada Fatwa DSN MUI No. 77/DSN-MUI/V/2010, sebenarnya fatwa ini mengangkat jual beli emas secara tidak tunai. Namun insyaallah penarikan hukumnya dapat kita ambil sebagai jawaban dari pertanyaan Mbak Nitya.
Hadis Nabi riwayat Muslim, Abu Daud, Tirmidzi, Nasa’i, dan Ibn Majah, “(Jual beli) emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, sya’ir dengan sya’ir, kurma dengan kurma, dan garam dengan garam (dengan syarat harus) sama dan sejenis serta secara tunai. Jika jenisnya berbeda, juallah sekehendakmu jika dilakukan secara tunai.”
Hadis Nabi riwayat Muslim dari Abu Sa’id al-Khudri, “Janganlah kamu menjual emas dengan emas kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; janganlah menjual perak dengan perak kecuali sama (nilainya) dan janganlah menambahkan sebagian atas sebagian yang lain; dan janganlah menjual emas dan perak tersebut yang tidak tunai dengan yang tunai.”
Emas, dalam pengambilan fatwa dapat dipandang sebagai uang atau barang, seperti barang lain yang dapat ditukar oleh uang.
Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qayyim adalah di antara ulama yang membolehkan jual beli perhiasan yang terbuat dari emas dengan emas, dengan pembayaran tangguh.
“Perhiasan (dari emas atau perak) yang diperbolehkan, karena pembuatan (menjadi perhiasan) yang diperbolehkan, berubah statusnya menjadi jenis pakaian dan barang, bukan merupakan jenis harga (uang). Oleh karena itu, tidak wajib zakat atas perhiasan (yang terbuat dari emas atau perak) tersebut, dan tidak berlaku pula riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara perhiasan dengan harga (uang), sebagaimana tidak berlaku riba (dalam pertukaran atau jual beli) antara harga (uang) dengan barang lainnya, meskipun bukan dari jenis yang sama. Hal itu karena dengan pembuatan (menjadi perhiasan) ini, perhiasan (dari emas) tersebut telah keluar dari tujuan sebagai harga (tidak lagi menjadi uang) dan bahkan telah dimaksudkan untuk perniagaan. Oleh karena itu, tidak ada larangan untuk memperjualbelikan perhiasan emas dengan jenis yang sama…”
Hukum ini diangkat di waktu sekarang ketika masyarakat menganggap emas sebagai barang, bukan sebagai alat tukar, terutama jika dijadikan perhiasan. Sehingga, hukum yang memberlakukan emas sebagai barang ribawi tidak berlaku lagi jika diperlakukan sebagai barang. Lebih lanjut lagi, transaksinya dapat ditangguhkan.
Yang menarik adalah batasan yang berlaku dalam fatwa ini yaitu sebagai berikut:
Batasan dan Ketentuan
- Harga jual (tsaman) tidak boleh bertambah selama jangka waktu perjanjian meskipun ada perpanjangan waktu setelah jatuh tempo.
- Emas yang dibeli dengan pembayaran tidak tunai boleh dijadikan jaminan (rahn).
- Emas yang dijadikan jaminan sebagaimana dimaksud dalam angka 2 tidak boleh dijualbelikan atau dijadikan objek akad lain yang menyebabkan perpindahan kepemilikan.
Sebagai kesimpulan, sebaiknya, ketika meminjam emas, maka dikembalikan dengan emas. Jika berbeda jenis dalam pengembalian utang, khawatir jatuh dalam transaksi gharar karena belum tentu senilai.
Lembaga Fikih Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) juga mengungkapkan, “Jika terjadi utang dengan mata uang tertentu, maka tidak boleh—disepakati—dibayar dengan nilai emas atau mata uang lain.”
Tidak pula dapat disetarakan ketika berutang dengan emas atau barang apa pun yang berbeda jenis, sehingga menjadi gharar atau uncertanty karena nilainya yang belum tentu memang setara. Wallahua’lam bishshowab. Semoga bermanfaat. <Dimuat di Majalah Hadila edisi Agustus 2024>
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *