Oleh Maimon Herawati
Hadila.co.id — Banyak kasus orang tua meminta anaknya masuk sekolah atau kursus tertentu, meski anak tidak berminat. Hal ini hampir selalu terjadi karena orang tua memiliki harapan yang kandas saat muda. Ibu gagal kuliah di kedokteran, maka anak diproyeksikan menggantikannya. Bapak hanya lulus SMK, anak dipaksa masuk fakultas teknik. Anak seakan menjadi penyambung obsesi.
Saya menemui banyak kasus anak putus asa. Benci segala hitung menghitung, tapi diminta masuk jurusan teknik, yang banyak ilmu hitung menghitungnya. Tidak suka menulis tapi diminta masuk jurusan jurnalistik, padahal jurnalistik berkutat dengan kata dan kalimat. Putus asa karena tidak sanggup, menjelma menjadi tekanan batin yang bisa berujungnya tragis. Bunuh diri.
Tidak ada orangtua yang ingin menyengsarakan anaknya. Kasus di atas biasanya karena orangtua merasa paling tahu, mengambil keputusan bagi anaknya, tanpa musyawarah. Jika pun ada musyawarah, keputusannya sering disetir orang tua. Mereka berpikir sudah melakukan yang terbaik demi kebahagiaan anak.
Saya pribadi, saksi obsesi tak sampai ini. Saat muda, ayah tidak memiliki biaya kuliah di jurusan teknik. Kakak laki-laki saya kemudian diminta memilih jurusan ini, meski dia lebih suka jurusan kedokteran gigi. Ujungnya, kuliahnya kandas, drop out. Kehidupannya terombang-ambing bahkan sempat ‘tersasar’.
Pelajaran kehidupan ini membuat saya berhati-hati. Semua anak istimewa dengan potensi mereka. Mereka berpeluang menjadi orang luar biasa jika dibantu mengembangkan minat dan bakatnya dengan cara yang menyenangkan.
Kenali potensi mereka dan bantu kembangkan. Lihat kecenderungan dan juga karakternya. Sabar atau kurang, pendiam atau cerewet. Kombinasi potensi dan karakter ini akan membantu kita melihat dia akan bahagia melakukan apa. Biarkan anak memilih.
Ada anak saya yang kemampuan motorik halusnya tinggi sejak bayi, tapi cenderung diam. Saat remaja, dia suka kerajinan tangan dan melukis. Dia senang membuat komik. Walau saya ingin dia menjadi dokter kandungan agar bermanfaat, saya mengerti, menjadi seniman mungkin pilihannya nanti.
Ada yang heroik, cinta keadilan, serius, dan kurang sabar. Saya rasa, andai dia bisa tahan dengan ritme belajar kedokteran, jiwanya akan sangat bahagia karena mampu menyelamatkan nyawa orang. Ternyata, suatu ketika, dia menyatakan ingin menjadi dokter spesialis trauma. Biarkan anak memilih.
Anak memiliki hidupnya sendiri. Mereka yang akan menjalani. Kita sekadar mengarahkan, memberikan bekal, dan menyemangati. Biarkan mereka memilih. Saya yakin, bahagia dengan pilihan hidup adalah kunci keberhasilan dunia akhirat.