Hadila.co.id — Suatu ketika saya dan sejumlah pegawai saya makan di sebuah restoran. Makan bersama menjadi budaya tersendiri untuk kami yang tinggal di wilayah Sumatera dalam rangka menyambut Bulan Ramadan. Tak lama, pelayan rumah makan menghampiri membawakan daftar menu.
Ternyata pelayan itu, anak gadis tetangga saya, yang cukup saya kenal baik. Ada hal yang membuat saya ber-“wow” dalam hati, saat melihatnya. Saya dapati si anak gadis memakai behel gigi. Dalam otak polos saya, behel itu adalah barang mahal. Butuh setidaknya merogoh kocek Rp 5 Juta untuk memasangnya. Sementara yang saya tahu tetangga saya adalah orang yang kehidupan ekonominya pas-pasan. Bahkan dikenal berutang di sana-sini.
Saya tak hendak “menggunjing” soal tetangga saya itu. Karena kemudian saya dapat informasi dari khadimat (asisten rumah tangga) saya perihal behel tadi, yang membuat saya merevisi “wow” saya sebelumnya. Cerita punya cerita, “wabah” behel juga menyerang anak gadis khadimat saya. Darinya saya baru tahu ternyata behel itu ada yang imitasi. “Yang dipakai anak sekarang itu nggak semuanya asli, Mbak, anak saya juga dibela-belain nggak jajan supaya bisa beli behel itu. Itu cuma fashion,” infonya. Menurutnya, harga behel imitasi tersebut tidak sampai jutaan, “hanya” Rp 350.000.
Kalau sejak dulu kita sudah akrab dengan berbagai perhiasan imitasi, ternyata behel pun ada tiruannya. Karena behel juga menunjukkan status sosial kelas tertentu. Hanya orang berduit yang memakainya.
Secuil kisah behel ini mengajak saya merenung, bahwasanya selain sudah biasa dengan budaya instan kita juga dibuai dengan budaya imitasi. Sadar atau tidak, kita digiring untuk tampil dengan aksesori, bukan dengan apa adanya diri kita. Kalau ekonomi kita pas-pasan bukan berarti kita harus tampil kumuh. Bukan pula harus tampil seolah-olah kita adalah orang “berkelas” dengan tingkat ekonomi di atas rata-rata.
“Sebaik-baik urusan adalah yang pertengahan” begitu sabda Nabi, yang saya maknai sebagai sikap wajar, sesuai, pas. Bukan melebih-lebihkan atau mengurang-ngurangkan. Hal ini berlaku pula dalam penampilan. Jangan sampai mengatasnamakan fashion, kita memoles diri sedemikian rupa agar orang takjub, dan kita pun kehilangan identitas diri kita.
Sebagai orangtua pendidik generasi, kita punya tugas untuk mengajarkan anak kita menjadi pribadi jujur. Kalaulah kita ingin anak bermental sebagai orang kaya, maka yang dimaksud adalah si kaya yang dermawan dan zuhud. Bukan kaya dalam makna sebatas berpenampilan serba wah yang ditandai dengan semata-mata punya mobil mewah, rumah mewah, dan berbagai kelengkapan atributif di sekeliling kita.
[Oleh: Dyah Novi Wulandari, S.Sos. | Ibu Rumah Tangga & Aktivis Masyarakat | Tinggal di Duri, Provinsi Riau]