Hadila.co.id—Belajar atau belajar tentang. Apa bedanya? Menarik sekali untuk mempertanyakan apakah selama ini siswa-siswa kita telah benar-benar belajar atau baru ‘belajar tentang’. Telah belajar Bahasa Indonesia ataukah baru belajar tentang Bahasa Indonesia? Telah belajar agama ataukah baru belajar tentang agama?
‘Belajar’ dengan ‘belajar tentang’ sangatlah berbeda. Kalau kita melihat anak belajar sepakbola, maka kita akan melihat anak-anak sedang berlatih sepakbola. Mereka berlatih menendang, mengoper, menggiring, menyundul bola kemudian berlatih bermain sepak bola bersama-sama dalam sebuah tim. Teori ada tetapi tidak dominan.
Kalau anak hanya ada di dalam kelas mempelajari ukuran lapangan sepakbola, teknik-teknik permainan sepakbola, maka artinya mereka sedang belajar tentang sepakbola. Belajar naik sepeda artinya anak benar-benar naik sepeda. Kadang jatuh, bangkit, jatuh lagi, bangkit lagi dan seterusnya hingga bisa.
Kalau siswa kita belajar menulis, mestinya kita akan melihat di dalam kelas semua anak sedang menulis, mendiskusikan hasil tulisan dan memperbaiki tulisan mereka. Jika kelas hanya berisi anak-anak yang sedang menghapalkan ciri karangan argumentasi, eksposisi, deskripsi dan cara-cara membuatnya tanpa sekalipun mencoba membuat karangan tersebut, maka sesungguhnya mereka baru belajar tentang menulis.
Kalau guru di SMA kelas X hanya menjelaskan pengertian membaca cepat atau cara-cara meningkatkan kecepatan membaca, maka itu artinya baru mengajar tentang membaca cepat.
Belajar membaca cepat, berarti kita akan menyaksikan anak-anak sedang membaca untuk waktu tertentu. Menghitung berapa kecepatan membacanya, mendiskusikan isinya, mendiskusikan bagaimana cara meningkatkan kecepatan membaca, berlatih kembali hingga kecepatan membaca anak-anak benar-benar mengalami peningkatan.
Demikian pula kalau siswa kita belajar agama, maka akan kita lihat anak-anak yang sedang belajar membaca Al Quran, menghapalkan dan memahami arti bacaan dan doa-doa dalam sholat, anak anak yang sedang latihan sholat, latihan memandikan jenazah, latihan berperilaku terpuji ataupun mendiskusikan masalah-masalah agama.
Kalau di kelas-kelas kita hanya berisi seorang guru yang nyaring menjelaskan pengetahuan agama tanpa ada praktik, maka anak anak kita sesungguhnya baru belajar tentang agama.
Padahal esensi sebenarnya dari sebuah pembelajaran adalah belajar menguasai sebuah keterampilan (life skill), atau yang saya sebut sebagai belajar. Bukan sekadar belajar tentang. <Kheirul Anwar- Kepala SMAN 1 Karanggede Boyolali; Rubrik Kolom Guru Kita Hadila Edisi 82 April 2014>