Hadila.co.id – “Aisha?!”seru Bunda, seraya mengacungkan jari telunjuknya, tanda melarang.
“Kenyang, Bunda,” rengek Aisha.
“Bunda sudah bilang, ambil nasi secukupnya. Tidak boleh membuang nasi. Ayo dihabiskan,” kata Bunda.
Bukan kali ini saja Bunda mendapati Aisha hendak membuang makanan. Sudah berkali-kali pula Bunda mengingatkan.
“Alhamdulillah,” ucap Bunda mengajak Aisha mengucap hamdalah setelah suapan terakhir.
Mereka pun bergegas menuju kios pasar tempat Ayah berjualan. Diperjalanan, Aisha terdiam menikmati pemandangan persawahan. Terlihat beberapa orang perempuan tengah tandur, tak menghiraukan teriknya matahari. Peluh membasahi tubuh mereka.
Liburan, Sarana Bagi Pendidikan Karakter
Mobil berhenti di perlintasan kereta api, karena ada kereta lewat. Pandangan Aisha tak sengaja tertuju pada dua orang pengamen yang sering ia jumpai di jalan itu, tengah lahap makan sebungkus nasi berlaukkan sebuah kerupuk. Aisha memandangi mereka hingga hilang dari pandangan.
Sampai akhirnya Aisha dan Bunda tiba di pasar. Bunda menggandeng tangan Aisha, menerobos kerumunan pembeli dan kuli panggul yang lalu lalang. Aisha terpaku memperhatikan kuli-kuli panggul yang bermandikan keringat.
“Sudah sampai, Nak,” ucap Bunda membuat Aisha tersentak.
Kios Ayah menempati blok dimana semua adalah pedagang beras. Semuanya biasa bagi Aisha kecuali beberapa wanita paruh baya yang menenteng tas plastik, memunguti butiran beras yang terjatuh di lantai pasar.
“Aisha, tolong ambilkan tas plastik untuk ayah, Nak,” ucap Bunda membuat Aisha segera mengalihkan pandangan.
“Terima kasih, Aisha,” ucap ayah pada Aisha.
“Ini Pak, lima kilo,” kata Ayah menyerahkan bungkusan tas plastik kepada lelaki didepannya.
“Alhamdulillah,” seru lelaki itu dengan berbinar, bergegas meninggalkan kios.
“Itu Pak Asep ya Yah? tukang becak di depan pasar?” tanya Bunda.
“Iya. Anaknya baru lulus. Ia ingin merayakannya dengan makan nasi putih pulen dan pecel lele buatan istrinya. Katanya, sudah lama mereka tidak makan seistimewa itu, ” ucap Ayah sambil membelai rambut Aisha.
Mendengar itu, Aisha tertegun. Rangkaian kejadian hari itu membuatnya tersadar, selama ini ia kurang bersyukur. Sering ia membuang nasi. Sementara banyak orang harus bersusah payah mendapatkan sesuap nasi. Terngiang ucapan Bunda yang sering ia abaikan: sebutir nasi mungkin bagi kita tak berarti, karena kita dikaruniai Allah rezeki yang cukup. Tapi mungkin bagi orang lain itu adalah penyambung hidup.”
Gerimis membasahi hati Aisha. Kini ia merasa Allah sangat sayang padanya. Seketika dada Aisha menghangat penuh rasa syukur.
(Sumber: Majalah Hadila Edisi Juni 2014)