Oleh Cahyadi Takariawan (Konsultan Keluarga dari Jogja Family Center)
“Saya baik-baik saja Pak, tapi istri saya yang ada masalah. Coba tanyakan kepada istri saya sendiri apa masalahnya,” ungkap seorang suami di ruang konseling.
Saat istrinya datang ke ruang konseling, ia bercerita dengan air mata yang tumpah ruah. Menyampaikan semua kegetiran yang dialami selama hidup berumah tangga. Seakan tidak ada sisi bahagia sama sekali, karena tertutup oleh berbagai kesedihan yang dipendam dalam-dalam.
“Saya heran, suami saya merasa tidak ada masalah. Setiap saya ajak berbicara tentang masalah rumah tangga, ia selalu mengatakan tidak ada masalah. Ia merasa baik-baik saja, jadi ia menyimpulkan sayalah yang bermasalah,” ungkap sang istri.
Ini bukan satu dua kejadian. Di ruang konseling, sering dijumpai kondisi yang mirip seperti itu. Mengapa suami merasa tidak ada masalah, sedangkan sang istri merasa ada sangat banyak masalah? Benarkah suami tidak pernah memiliki masalah?
Lelaki Lebih Banyak Menggunakan Potensi Akal
Salah satu yang membuat suasana perbedaan tersebut adalah sebanyak apa suami dan istri menggunakan potensi akal dan perasaannya. Ketika menghadapi masalah, suami cenderung lebih banyak menggunakan akal, sehingga selalu berusaha bersikap rasional dalam memahami realitas masalah. Lelaki memiliki ukuran-ukuran tersendiri tentang berat atau ringannya suatu masalah, tentang sulit atau mudahnya menyelesaikan masalah. Berbeda dengan perempuan yang lebih banyak menggunakan potensi perasaan.
Dengan perasaannya, istri merasakan tekanan yang berat saat menghadapi masalah. Menangis bagi kaum perempuan adalah bahasa perasaan, tidak saja soal kesedihan atau keberatan suatu masalah, bahkan perempuan bisa menangis untuk hal-hal yang menyenangkan. Ini terkait dengan pemanfaatan potensi perasaan ketika menghadapi dan merespons suatu persoalan. Rata-rata perempuan tidak memerlukan alasan dan sebab yang “masuk akal” untuk bisa menangis, karena menangis bukanlah aktivitas akal. Menangis adalah ekspresi dan bahasa perasaan.
Ketika menghadapi persoalan keluarga, suami berusaha memikirkan banyak hal, di antaranya adalah berpikir tentang perbandingan-perbandingan. Lelaki memerlukan bahan perbandingan untuk mengatakan suatu masalah sebagai berat atau ringan, suatu masalah dianggap sebagai mudah atau susah.
Kaum perempuan, walaupun dengan akalnya ia bisa mengetahui dan mencerna persoalan yang dihadapi itu sesungguhnya ringan dan sederhana, tetapi karena ia banyak menggunakan potensi perasaan, maka lebih mudah baginya untuk merasakan tingkat keberatan atau kerumitan masalah tersebut dibanding dengan suami.
Dengan akalnya, suami menganggap bahwa suatu masalah sebenarnya kecil, dan sulit baginya mengerti kenapa istri menangis untuk urusan “sekecil itu”. Perhatikan ungkapan sepasang suami istri di ruang konseling. Sang istri marah-marah dan menuntut cerai karena suaminya menyebut wajahnya mirip seorang tokoh Punakawan dalam pewayangan.
“Saya heran, mengapa istri saya menangis dan marah-marah, hanya karena saya katakan bahwa dia itu wajahnya seperti Bagong. Lah kalau dia itu tidak seperti Bagong, ya harusnya tidak perlu menangis dan marah-marah. Kalau dia marah-marah, itu berarti memang mengaku kalau dirinya memang seperti Bagong,” ungkap suami dengan ringan.
Lalu, mengapa sang istri tersinggung berat atas ucapan “ringan” dari suaminya itu?
“Masa dia tega menyebut wajah saya mirip Bagong… Bagong itu kan laki-laki, masih mending kalau saya disebut mirip Limbuk,” ujar sang istri sambil menangis. Limbuk adalah seorang tokoh perempuan dalam pewayangan.
Bagi sang istri, dirinya disebut mirip Bagong merupakan sebuah penghinaan yang sangat menyakitkan hati. Bagi sang suami, ucapan seperti itu seakan biasa dan ringan saja. Kalau tidak mirip Bagong ya tidak perlu tersinggunglah.
Apa Masalah Suami?
“Bukan saya yang bermasalah. Tapi istri saya yang bermasalah. Dia selalu menganggap keluarga kami ada masalah, padahal saya baik-baik saja,” ungkap seorang suami.
Ungkapan paling sederhana untuk menyebut masalahnya adalah, dia tidak mengetahui apa masalahnya. Atau, dia tidak merasa memiliki masalah, itulah masalahnya. Sebagai pemimpin dalam rumah tangga, suami wajib menghadirkan suasana yang nyaman, aman, dan menyenangkan bagi istri dan anak-anak. Ketika istri merasa tertekan, istri merasa tidak nyaman, tidak aman, dan tidak bahagia berada di rumah, maka artinya suami gagal memenuhi kewajiban untuk memberikan perasaan tersebut kepada sang istri.
Tidak pantas seorang suami mengatakan “Terserah kamu, tersinggung atau tidak, itu bukan urusanku”, sementara perkataan dan perbuatannya selalu membuat sakit hati bagi istri. Tentu saja ini juga berlaku sebaliknya. Tidak pantas bagi istri mengucapkan perkataan atau melakukan perbuatan yang menyakiti hati suami, sementara ia mengatakan “Terserah kamu kalau tersinggung, toh aku tidak bermaksud menyinggung kamu.”
Melempar kesalahan kepada satu pihak saja dalam kehidupan rumah tangga, tentu merupakan tindakan yang tidak bertanggung jawab. Suami dan istri sudah menjadi satu bagian yang harus saling membantu, saling menghargai, saling melindungi, saling mengerti, saling memberikan kenyamanan, kesenangan, dan kebahagiaan. Ketika suami merasa tidak ada masalah, sementara istri merasa ada masalah, sangat perlu melakukan evaluasi, bagaimana kondisi itu bisa terjadi.
Menghadapi Masalah Bersama
Sangat penting untuk menyamakan sikap antara suami dan istri saat menghadapi permasalahan. Mereka tidak boleh menganggap “Itu kan masalahmu, bukan masalahku.” Namun mereka harus menyatakan “Kita hadapi bersama.” Persoalan suami dan istri harus dihadapi bersama, bukan saling melempar kesalahan kepada pihak lainnya. Kadang suami merasa benar sendiri, dan menganggap istri yang salah. Kadang istri merasa selalu benar, dan suamilah yang salah. Sikap saling melempar ini tidak produktif, karena menunjukkan ketidakdewasaan sikap hidup berkeluarga.
“Itu masalahmu sendiri, bukan masalahku,” ungkapan seperti ini menandakan tidak adanya kebersamaan saat menghadapi permasalahan. Bahkan seandainya masalah tersebut terkait pekerjaan di kantor, atau urusan yang menyangkut jabatan, profesi, atau posisi di tempat kerja. Suami dan istri tetap memiliki peran saling meringankan dengan berbagai cara yang bijak. Bukan intervensi dalam sisi profesional atau jabatan, tetapi intervensi dalam kaitan moral. Sebagai suami istri, yang harus saling berbagi, saling meringankan beban, saling membantu, dan menjaga.
Masalah apa pun akan lebih ringan dihadapi, apabila suami dan istri mampu menjaga sikap “kita hadapi bersama”. Sikap ini menunjukkan kuatnya kebersamaan antara suami dan istri. “Ini masalah kita, maka mari kita hadapi bersama.” Alangkah indah sikap seperti ini. Sebuah kedewasaan dalam menjalani hidup bersama di dalam rumah tangga. Suami dan istri saling bergandengan tangan, melewati hari-hari penuh kebahagiaan, karena mereka mampu merawat kebersamaan. <Dimuat di majalah Hadila Edisi Desember 2020>