Hadila – Asalamualaikum, Ustazah. Saya ingin bertanya beberapa hal tentang kurban. Pertama, bolehkan berkurban diatasnamakan orang yang sudah meninggal dunia? Kedua, misal kurban sapi kolektif 7 orang. Dalam kelompok itu ada salah satu yang kita ketahui tidak salat. Apakah kurban kita tetap sah? Ketiga, masih terkait kurban sapi kolektif, apakah orang yang melaksanakannya harus berkurban selama 7 tahun berturut-turut, agar pahalanya jadi utuh satu ekor sapi?
Konsultan: Ustazah Nursilaturahmah Lc. (Dosen Ma’had Abu Bakar )
Wa’alaikumussalaam Wr. Wb. Ada 3 pertanyaan di sini.
Pertama, bolehkah kurban diatasnamakan orang yang telah meninggal dunia?
Hukum mengatasnamakan kurban untuk seseorang yang telah meninggal dunia dibagi jadi beberapa situasi. Pertama, berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia sebagai bagian dari kurban untuk diri sendiri dan keluarga, baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia hukumnya boleh.
Dasar dari bolehnya hal ini karena Rasulullah pernah berkurban untuk diri dan keluarganya, termasuk yang telah meninggal dunia. “Pada masa Rasulullah Saw ada seseorang (suami) menyembelih seekor kambing sebagai kurban bagi dirinya dan keluarganya.” [H.R. Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Kedua, berkurban untuk orang yang sudah meninggal dunia atas dasar wasiatnya sebelum meninggal hukumnya juga boleh, bahkan wajib selama memungkinkan. Allah berfirman, “Siapa yang mengubahnya (wasiat itu), setelah mendengarnya, sesungguhnya dosanya hanya bagi orang yang mengubahnya. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” [Q.S. Al-Baqarah: 181]
Ketiga, berkurban dengan niat khusus untuk orang yang telah meninggal dunia, bukan sebagai bagian dari kurban untuk diri sendiri atau keluarga, tidak memiliki contoh dari Rasulullah. Tidak ada dalil yang mendukung perbuatan ini, dan beberapa ulama menegaskan bahwa ini termasuk mengada-ada dalam urusan agama, sehingga tidak disarankan.
Kedua, sahkah berkurban satu kelompok dengan orang yang tidak salat?
Keabsahan kurban tidak tergantung pada tingkat keaktifan seseorang dalam menjalankan salat, melainkan bergantung pada status keislaman, kedewasaan, kemampuan finansial, dan akal sehat.
Jika seseorang yang melaksanakan kurban adalah muslim dewasa, memiliki kemampuan finansial, akal sehat, dan hewan kurban telah memenuhi syarat, maka kurban tersebut dihukumi sah selama dia meninggalkan salat hanya karena malas dan tidak sampai mengingkari kewajibannya. Jika ia tidak salat karena ingkar, maka ia termasuk golongan orang kafir/musyrik yang ibadahnya tidak diterima Allah. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur’an Surah At-Taubah ayat 54.
Dalam kasus ini, kita boleh saja berada dalam satu kelompok pekurban meskipun ia tidak salat, apalagi jika tidak salatnya dia belum sampai pada derajat ingkar, dan kurban yang kita lakukan tetap sah secara hukum jika telah memenuhi persyaratan. Adapun mereka yang tidak salat, tetapi ikut berkurban, maka yang demikian itu urusan dia dengan Allah.
Ketiga, apakah diharuskan berkurban 7 tahun berturut-turut agar mendapatkan pahala utuh 1 ekor sapi?
Mayoritas ulama menyatakan bahwa berkurban bagi seorang muslim, balig, berakal, dan mampu secara finansial hukumnya sunah, bukan wajib. Perintah berkurban juga tidak berlaku setiap tahun atau harus dilakukan selama 7 tahun berturut-turut untuk mendapatkan pahala utuh dari 1 ekor sapi, karena kondisi finansial seseorang tentu tidak selalu stabil.
Islam tidak pernah membebani umatnya di luar kemampuan yang dimilikinya, karena bagaimana pun berkurban termasuk dalam kategori ibadah finansial.
Adapun berapa pahala yang berhak kita dapatkan tentu itu terkait erat dengan bagaimana keikhlasan kita dalam menjalankan ketaatan ini. Allah berfirman, “Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaanmu…” [Q.S. Al-Hajj: 37]
Dari ayat ini, jelas bahwa besaran pahala yang kita dapatkan tidak semata-mata tergantung pada besarnya hewan kurban yang kita sembelih, atau yang kita lakukan di setiap tahunnya akan menjamin pahala yang jauh lebih besar daripada mereka yang hanya mampu berkurban sekali seumur hidupnya, kerena semua itu sangat tergantung pada keikhlasan, ketaatan, dan kesesuaian kita dalam memenuhi syarat-syaratnya. Wallahu a’lam bish-shawwaab. <Dimuat di majalah Hadila edisi Juni 2024>
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *