Hadila.co.id — Banyak kasus orangtua meminta anaknya masuk sekolah tertentu, ikut kursus tertentu, walaupun sebenarnya anak tidak berminat. Hal ini hampir selalu terjadi karena orangtua memiliki harapan yang kandas saat mudanya. Ibu gagal kuliah di kedokteran, maka anak diproyeksikan menggantikannya. Bapak hanya lulus STM/SMK, anak dipaksa masuk fakultas teknik. Anak seakan menjadi penyambung obsesi orangtua.
Dalam kehidupan nyata, saya menemui banyak kasus anak putus asa. Dia benci segala hitung menghitung tetapi dia diminta masuk jurusan teknik, padahal jurusan teknik banyak menggunakan hitung menghitungnya. Dia tidak suka menulis tetapi diminta masuk jurusan jurnalistik, padahal mahasiswa jurnalistik berkutat dengan kata dan kalimat. Putus asa karena tidak sanggup itu lalu menjelma menjadi tekanan batin. Perasaan tertekan ini ujungnya bisa tragis, sampai pada bunuh diri.
Tidak ada orangtua yang ingin menyengsarakan anaknya. Kasus di atas biasanya karena orangtua merasa paling tahu dengan berbagai hal dan mengambil keputusan bagi anaknya, tanpa musyawarah. Jika pun ada musyawarah, keputusannya sering disetir orangtua. Mereka berpikir sudah melakukan yang terbaik demi kebahagiaan anak di dunia dan akhirat.
Saya pribadi saksi obsesi tak sampai ini. Saat muda dulu, ayah tidak memiliki biaya kuliah di jurusan teknik. Kakak laki-laki saya kemudian diminta memilih jurusan ini, meski sebenarnya dia lebih suka jurusan kedokteran gigi. Ujungnya, kuliahnya kandas di tengah jalan. Drop out. Kehidupannya terombang-ambing bahkan sempat ‘tersasar’ juga.
Pelajaran kehidupan ini membuat saya berhati-hati. Semua anak istimewa dengan potensi mereka. Mereka berpeluang menjadi orang luar biasa jika dibantu mengembangkan minat dan bakatnya dengan cara yang menyenangkan.
Kenali potensi mereka dan bantu kembangkan. Lihat kecendrungan dan juga karakternya. Sabar atau kurang, pendiam atau cerewet. Kombinasi potensi dan karakter ini akan membantu kita melihat dia akan bahagia melakukan apa.
Ada anak saya yang kemampuan motorik halusnya tinggi sejak bayi, tetapi cenderung diam. Saat remaja, dia suka kerajinan tangan dan melukis. Dia senang membuat komik. Walau saya ingin dia menjadi dokter kandungan atau bidan agar bermanfaat. Saya mengerti, menjadi seniman mungkin pilihannya nanti.
Ada yang heroik, cinta keadilan, serius, dan kurang sabar. Saya rasa, andai dia bisa tahan dengan ritme belajar kedokteran, jiwanya akan sangat bahagia karena mampu menyelamatkan nyawa orang. Ternyata, suatu ketika, dia menyatakan ingin menjadi dokter spesialis trauma.
Anak memiliki hidupnya sendiri. Mereka yang akan menjalani. Kita sekadar mengarahkan, memberikan bekal, dan menyemangati. Biarkan mereka memilih. Saya yakin, bahagia dengan pilihan hidup adalah kunci keberhasilan dunia akhirat.<>
Penulis: Maemon Herawati, dalam Majalah Hadila Edisi Juni 2015, Cerdas Petakan Potensi Anak
Editor: Rahmawati Eki P