Dalam kehidupan berumah tangga, konflik lebih banyak dipicu oleh hal-hal yang kecil dan sederhana. Bukan terkait dengan hal-hal yang bercorak ideologis, namun justru didominasi oleh hal-hal praktis dan teknis. Salah satu pemicu konflik suami istri adalah tingginya ego pada kedua belah pihak. Masing-masing berusaha memenangkan egonya dan mengalahkan pasangannya.
Seakan-akan merasa belum puas kalau pasangannya belum dikalahkan dan belum bertekuk lutut kepadanya. Dengan ego yang sangat tinggi seperti ini, maka segala sesuatu bisa berubah menjadi pertengkaran dan konflik. Hal-hal yang jika dipikir secara mendalam dan dewasa tidak akan menimbulkan masalah, bisa meledak menjadi pertengkaran yang hebat, karena semua pihak selalu ingin memenangkan egonya.
Kisah si Burung Pipit
Pada suatu hari, seorang suami menangkap burung pipit kecil, dan membawanya pulang ke rumah. Sesampai di rumah, dimasukkan burung pipit itu ke dalam sangkar. Dengan bangga dia menunjukkan burung pipit itu kepada sang istri.
“Lihat, betapa elok burung pipit jantan ini,” ujar suami.
“Iya memang indah. Tapi ini burung pipit betina,” jawab istri.
“Tidak. Ini jantan!” sang suami tidak mau mengalah.
“Betina!” sang istri pun bertahan.
“Lihat yang benar. Burung ini jelas-jelas jantan,” ujar suami.
“Kamu yang salah lihat. Ini jelas burung betina,” sergah sang istri.
Pertengkaran pun terjadi dengan sengit. Hanya persoalan jantan atau betina, mereka tidak ada yang mau mengalah. Padahal, seandainya burung pipit itu jantan atau betina, tidak akan berpengaruh apapun dalam kehidupan rumah tangga mereka.
Pertengkaran kian meruncing. Malam itu mereka berdua tidur dalam situasi hati yang panas.
Hari berganti, bulan berlalu. Setiap kali bicara burung pipit kecil itu mereka selalu bertengkar. Hingga akhirnya sang suami melepas burung itu terbang bebas, karena dianggap membawa pertengkaran dalam keluarga. Sejak peristiwa itu, mereka sudah tidak lagi bertengkar soal burung pipit.
Tiga tahun berlalu sudah. Pada suatu malam sang suami teringat burung pipit kecil itu. Dia merasa geli dengan peristiwa yang pernah mereka lalui bersama burung pipit. Sambil tertawa, dia bertanya kepada sang istri.
“Engkau ingat pertengkaran bodoh kita tentang burung pipit dulu itu?”
“Ya aku masih ingat. Aku bahkan berpikir hendak minta cerai waktu itu. Tapi syukurlah engkau segera melepas burung pipit betina itu,” jawab sang istri.
“Hah? Burung pipit betina? Tidak! Dia jantan!” teriak sang suami.
“Tidak bisa. Burung pipit itu jelas-jelas betina,” balas sang istri.
“Tidak. Itu pasti jantan,” sergah sang suami.
Malam itu mereka kembali bertengkar hebat tentang burung pipit, setelah tiga tahun yang lalu dilepas dari sangkarnya.
Menundukkan Ego
Ya, begitulah. Jika ego diperturutkan, apapun bisa menjadi bahan pertengkaran. Hal-hal yang tidak bermutu, tidak berkelas, tidak bertema, semua bisa menjadi bahan untuk dipertengkarkan. Karena persoalan utamanya adalah ketidaksanggupan menundukkan ego.
Maka sangat penting bagi suami dan istri untuk selalu belajar menundukkan ego. Memang ini terasa sangat sulit dilakukan, karena justru ego menghendaki dirinya selalu menang, selalu bisa mengalahkan pasangannya. Maka upaya menundukkan ego itu sangat bertentangan dengan sifat ego itu sendiri.
Namun hendaknya suami dan istri menyadari sepenuhnya, bahwa yang bisa menciptakan suasana kebahagiaan dalam keluarga bukanlah menuruti ego. Yang harus mereka utamakan adalah mewujudkan suasana yang menyenangkan bagi semua pihak. Bukan menyenangkan serta memenangkan diri sendiri. Ini bedanya antara orang yang sudah menikah dengan yang belum menikah.
Bagi orang yang sudah menikah, dia harus selalu menenggang perasaan pasangan. Selalu berusaha membahagiakan pasangan. Selalu berusaha menghormati dan menghargai pasangan. Bukan menuntut untuk dihormati dan dihargai oleh pasangan. Namun kedua belah pihak harus mengutamakan melakukan yang terbaik untuk pasangan.
Bukan soal burung pipit jantan atau betina, namun soal ketidaksanggupan menundukkan ego itulah yang menjadi pokok persoalan.<>
[Penulis: Cahyadi Takariawan, Trainer dan Konselor di Jogja Family Center. Dimuat di Majalah Hadila Edisi Oktober 2015]