Oleh: Mutoharun Jinan (Pakar parenting asal Surabaya, Direktur Griya Parenting Surabaya)
Setiap orang tentu mempunyai prinsip yang diyakininya. Dengan prinsip-prinsip tersebut ia bergerak dan bersikap di dalam hidupnya. Sungguh sangat membahagiakan melihat sekelompok anak remaja yang rela berhenti sejenak dari latihan basketnya untuk melaksanakan Salat Asar secara berjamaah ketika mereka mendengar kumandang azan, mereka teguh memegang prinsip untuk salat berjamaah. Sebaliknya kita akan bersedih jika melihat anak-anak mengakhirkan Salat Asarnya hanya supaya dapat mengikuti latihan futsalnya tanpa terlambat.
Dua contoh di atas adalah fenomena dari sebuah prinsip yang dipegang teguh oleh anak-anak kita atau sebaliknya. Tantangannya adalah bagaimana mendidik anak untuk mampu memegang prinsip dengan kuat? Beberapa penjelasan berikut ini mungkin dapat membantu kita untuk mencobanya, di antaranya:
Pertama, seorang anak yang memegang prinsip dengan kuat atau sebaliknya sangat terkait dengan seberapa kuat ia meyakini prinsip tersebut. Sering kali orang tua terlalu percaya diri bahwa anaknya sangat kuat meyakini sebuah prinsip padahal itu hanyalah prasangka dirinya. Ia berasumsi bahwa salat jamaah sangat penting dilakukan oleh orang laki-laki dan prinsip tersebut selalu ia dengungkan kepada anak laki-lakinya.
Apa yang diyakini oleh orang tua belum tentu menjadi keyakinan anak, apalagi jika metodenya hanya memberi ceramah kepada mereka. Kita harus menggunakan berbagai cara agar sebuah prinsip tertanam kuat dan terimplementasikan dalam kehidupan mereka. Dari membangun kesadaran, memberi contoh, berdiskusi, hingga memberi pengalaman riil pada prinsip tersebut.
Kedua, contoh orang tua di dalam memegang teguh prinsipnya sangat memengaruhi seberapa kuat anak-anaknya di dalam memegang prinsipnya. Orang tua yang selalu menghentikan kendaraan untuk sejenak melaksanakan salat jamaah akan sangat berpengaruh pada pola anak di dalam memegang teguh prinsipnya pada prinsip salat berjamaah dan prinsip pada aspek-aspek yang lain.
Ketiga, melatih anak untuk memegang prinsip pada aspek-aspek yang paling sederhana dalam hidupnya, seperti membiarkan anak untuk makan dahulu sebelum mandi atau sebaliknya. Pengalaman untuk memegang prinsip yang sederhana ini akan mendorong anak untuk juga memegang pada keteguhan dia di dalam memegang prinsip yang lebih tinggi.
Keempat, membiasakan anak untuk menjelaskan alasan ketika ia menentukan sebuah keputusan. Sebuah alasan dari satu pengambilan keputusan adalah dasar dari munculnya sebuah prinsip yang kuat. Dengan menyampaikan sebuah alasan dari pilihan yang dia ambil, mendorong anak untuk tidak berubah pada pilihan yang lain
Kelima, anak-anak yang lebih mandiri cenderung lebih kuat di dalam memegang prinsip. Seperti seorang anak yang secara mandiri menggoreng telur bagi dirinya adalah bentuk kesiapan dirinya untuk sedikit menghadapi kesulitan ketika membuat keputusan untuk menyediakan lauk untuk dirinya. Sebaliknya seorang anak yang selalu bergantung pada layanan orang lain cenderung mudah mengikuti prinsip orang lain. Yang penting ia tidak merasakan kesulitan dari setiap keputusan tersebut, walaupun bertentangan dengan prinsipnya. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Mei 2019>