Cita Rasa Kuliner Nusantara dalam Sejarah

Cita Rasa Kuliner Nusantara dalam Sejarah

Hadila – Indonesia awalnya dikenal sebagai negeri penghasil rempah yang berlimpah. Dari bumbu berdasar rempah inilah, banyak masakan khas asli Indonesia yang tercipta yang dikenal hingga ke manca negara. Rempah merupakan bahan dasar untuk meracik makanan dan minuman yang sangat dibutuhkan untuk meningkatkan cita rasa dan kelezatan kuliner nusantara

Beberapa rempah yang membentuk keunikan cita rasa kuliner asli Indonesia antara lain terdapat pada cengkeh, pala, lada, ketumbar, dan serai. Perpaduan rempah-rempah yang khas dan kuat, dapat menghilangkan bau amis pada daging sekaligus memberikan cita rasa asli Indonesia.

Latar Sejarah Kuliner Nusantara

Secara historis, makanan Indonesia adalah salah satu tradisi kuliner yang paling kaya di dunia karena penuh rasa cita dengan bahan dan bentuk yang variatif. Menurut sejarah, jejak kuliner di Nusantara telah dijumpai dalam sejumlah prasasti abad ke-8 sampai ke-10 Masehi. Ketika itu, istilah boga telah dikenal, yakni makanan yang berhubungan dengan dapur dan dibuat dengan sentuhan seni untuk memberikan kenikmatan.

Menu pindang, gulay-gulay, hasem-haseman, lawar-lawaran, bakasem, disebut dalam Kakawin Ramayana adalah makanan yang dikenal pada abad ke-9 M. Selain itu, Prasasti Watukura di Jawa Timur (824 Ç/902 M) telah menyebut kata tahu dan ikan kakap kering sebagai  jenis makanan saat itu (Rahman, 2016; Nasoichah, 2009). Dalam perkembangan lebih lanjut, Serat Centhini (1814-1823) menyinggung kata “tempe” dalam nama makanan bêsêngèk tempe pitik (besengek tempe ayam) dan kadhêle tempe. Diceritakan juga kebanyakan masyarakat mengonsumsi pala kependhem (umbi-umbian), pala gemanthung (buah-buahan) serta pala kesimpar (buah di atas permukaan tanah).

RA Kartini dan RA Kardinah merupakan perempuan pribumi akhir abad ke-19 yang semasa hidupnya berupaya mengumpulkan resep masakan Nusantara. Di dalam Lajang Panoentoen Bab Olah-Olah yang ditulis Kardinah, terkumpul rentang resep masakan yang lebih luas. Mulai dari makanan yang sudah disebut sejak lama, seperti lelawar gule pindang, hingga makanan hasil pertemuan silang budaya Jawa Tengah yang terkena campuran pengaruh kolonial Belanda, Tionghoa, dan Arab.

Pengaruh Makanan Global pada Kuliner Nusantara

Bermacam masakan di Indonesia tentu tidak muncul begitu saja Pengaruh ekologi, perjalanan sejarah, faktor ekonomi, dan politik serta agama ikut mempengarhi ragam masakan. Di masa abad pertengahan, makanan juga merupakan komoditas yang laku di pasaran. Misalnya, hasil pengolahan garam di pantai utara Jawa Timur dijual ke Sulawesi dan Maluku, dan diperdagangkan secara langsung melalui Banten ke Sumatra. (Reid, 2014).

Rempah menarik bangsa Eropa untuk menguasai Nusantara pada abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Bangsa Portugis masuk ke Nusantara dipimpin oleh Alfonso de Albuquerque pada tahun 1552 untuk mencari rempah. Sejak saat itu, mulailah ekspansi bangsa Eropa ke Nusantara untuk berniaga rempah-rempah, hingga kolonialisasi oleh bangsa Belanda selama sekitar 3,5 abad.

Kehadiran para pedagang Tiongkok, India, dan Arab Muslim ikut memberi corak bagi masakan di Nusantara. India membawa bahan makanan, seperti bawang, ketumbar, jintan hingga jahe, yang mendukung bagi perkembangan kari di Sumatera. Sementara itu, orang Tionghoa memengaruhi cara mengolah makanan, seperti menggoreng cepat menggunakan wajan. Kedatangan Islam turut mengubah wajah kuliner dengan pengaruhnya pada pola konsumsi daging kambing.

Pengaruh India dan Timur Tengah terlihat pada masakan di Sumatera dengan daging dan sayuran seperti gulai dan kari (kari). Sedangkan, di Jawa cita rasa masakan Nusantara asli lebih kuat dan khas. Sebaliknya di bagian timur Indonesia, terasa pengaruh dari Melanesia dan Polinesia.

Dibalik keunikan nama, sejarah, serta kelezatan rasanya, aneka makanan Nusantara di atas telah terdokumentasikan dalam Mustika Rasa, yaitu buku resep masak nasional pertama di Indonesia. Adanya warisan berbagai horison perjalanan panjang kuliner di Nusantara disertai pengaruh globalnya telah berkontribusi membangun cita rasa masyarakat Indonesia terhadap makanan. Formasi citra kuliner ini dapat dibaca sebagai kontinuitas perkembangan makanan sejak era tradisional sebelum zaman aksara  hingga era modern saat ini. <Dimuat di Majalah hadila Edisi Oktober 2021>

 

Penulis: Mukhamad Shokheh Ph.D. (Dosen Ilmu Sejarah Universitas Negeri Semarang)

7 comments

Berita Lainnya

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked with *

7 Comments

Latest Posts

Top Authors

Most Commented

Featured Videos