Oleh : Cahyadi Takariawan (Konsultan Keluarga Nasional)
Keluarga harmonis adalah dambaan semua orang. Siapa pun yang menikah dan membentuk bahtera rumah tangga, berharap akan bisa memiliki keluarga yang harmonis. Namun banyak orang memahami makna harmonis secara berlebihan, sehingga seakan-akan tidak memberi toleransi akan adanya perbedaan, pertengkaran, dan konflik antara suami istri sama sekali. Keluarga harmonis dipahami sebagai keluarga yang tanpa perbedaan dan tanpa konflik.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata harmonis memiliki makna pernyataan rasa, aksi, gagasan, dan minat; keselarasan; keserasian. Dalam konteks keluarga, kata harmonis dekat dengan makna keselarasan dan keserasian antara suami, istri, dan seluruh anggota keluarga. Selaras dan serasi, menunjukkan suatu kesamaan tujuan dan cita-cita, walaupun kondisinya tidak selalu sama. Mungkin saja ada hal yang berbeda. Namun perbedaan terbingkai dalam keselarasan dan keserasian.
Kenyataannya, sangat banyak alasan bagi suami dan istri untuk terus berkonflik dalam kehidupan rumah tangga. Hal ini karena mereka berasal dari tradisi keluarga yang berbeda, mereka memiliki kebiasaan, pemikiran, kesenangan, perasaan yang tidak sama. Bahkan sering dikatakan, planet asal mereka pun berbeda. Yang satu dari Mars, satu lagi dari Venus. Jika setiap satu perbedaan memunculkan satu konflik, maka setiap hari mereka akan selalu berada dalam ketegangan situasi yang tidak produktif.
Dalam kehidupan rumah tangga, memang selalu ada konflik dengan segala tingkatannya. Tidak ada keluarga tanpa konflik, yang membedakan adalah cara mereka menikmati, mengelola dan keluar dari konflik tersebut. Dengan demikian, tidak perlu berlebihan dalam memandang terjadinya konflik. Justru yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengubah konflik menjadi cinta yang menyala dalam keluarga.
Tiga Tingkat Konflik
Konflik tidaklah terjadi secara tiba-tiba, ada proses dan tingkatannya. Secara teoritis, konflik terjadi dalam tiga tingkatan.
Tingkatan pertama adalah the unvisible conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini masih ada di batin atau perasaan. Ada beberapa ketidakcocokan antara suami dengan istri, tetapi ketidakcocokan itu tidak tampak atau tidak muncul dalam ucapan, sikap, dan tindakan. Ini adalah sebentuk ketidaknyamanan hubungan yang tidak diekspresikan. Namun lebih banyak dipendam dalam hati dan pikiran. Suami dan istri sama-sama merasakan ada sesuatu yang mengganjal, tetapi tidak diungkapkan.
Tingkatan kedua adalah the perceived/experienced conflict. Konflik yang terjadi pada tingkatan ini sudah sama-sama diketahui, dialami atau sudah tampak di permukaan. Suami dan istri sudah sama-sama mengalami perbedaan yang muncul dalam bentuk percekcokan, pertengkaran, atau perlawanan. Pemicu konflik bisa jadi karena perbedaan pendapat antara suami dan istri, perbedaan harapan, keinginan, atau karena adanya tindakan yang tidak menyenangkan. Konflik bisa terjadi dalam bentuk kalimat yang diucapkan atau sikap yang ditampakkan.
Tingkatan ketiga adalah the fighting. Pada tingkatan ini, konflik sudah berubah menjadi tindakan fisik, seperti pukulan, tendangan, tamparan, atau tindakan lain yang bersifat fisik. Menurut kamus, fighting adalah melawan orang lain dengan pukulan atau senjata (blow or weapon). Dalam kehidupan rumah tangga, banyak terjadi pertengkaran suami dan istri yang melibatkan aktivitas fisik dan “senjata”, seperti menggunakan alat pemukul, memecah piring, melempar gelas, merusak perabotan rumah tangga, dan lain sebagainya.
Memahami tingkatan konflik ini akan sangat membantu bagi suami dan istri untuk bisa menentukan sikap yang tepat pada saat menghadapinya. Hendaknya suami dan istri tidak membiarkan konflik berkembang dari tingkatan pertama menuju tingkatan kedua dan ketiga. Deteksi dini adanya konflik di tingkatan pertama sangat diperlukan agar bisa segera mencari jalan keluar dan tidak membiarkannya berlarut-larut atau berlama-lama.
Menuju Harmoni Keluarga
Saat suami dan istri mulai merasakan ketegangan hubungan, sesungguhnya tanda-tandanya sangat banyak dan mudah dikenali. Misalnya komunikasi tidak lancar. Istri tidak bisa atau tidak berani berbicara dengan suami. Takut menyinggung, takut dimarahi, takut tidak ditanggapi. Suami tidak nyaman berbicara dengan istri. Takut tidak nyambung, takut salah paham, takut direspons dengan berlebihan. Akhirnya saling memilih untuk diam, tetapi memendam perasaan yang tidak nyaman.
Bisa juga suami dan istri berada dalam suasana sensitif yang berlebihan. Kata-kata kecil yang diucapkan suami atau istri, mudah memunculkan emosi dan kemarahan pasangan, walaupun tidak diekspresikan. Komunikasi sering tidak nyaman, karena mudah salah paham dan berlebihan memahami kalimat yang diucapkan pasangan. Seakan-akan pasangan tengah menyindir atau mengejek dirinya.
Inilah gejala suami dan istri sudah memasuki gelanggang konflik pada tingkat yang pertama. Ada suasana tidak nyaman, suasana ketidakcocokan antara suami dan istri, tetapi hanya dipendam di dalam hati. Tidak ditampakkan, tidak diekspresikan. Masing-masing memendam rasa yang tidak mengenakkan kepada pasangan.
Jika gejala konflik tingkat pertama ini sudah dirasakan, segeralah mencari jalan keluar. Jangan biarkan perasaan tidak nyaman kepada pasangan ini bercokol dan bertahan berlama-lama dalam jiwa. Itu akan sangat menyakitkan dan menyiksa hati serta perasaan. Bahkan dikhawatirkan lama-lama akan menggerogoti cinta yang sudah ditanam dalam dada. Segeralah keluar dari zona tidak nyaman ini, agar tidak membahayakan keharmonisan hubungan Anda bersama pasangan tercinta.
Cari waktu dan suasana yang tepat. Ajak pasangan Anda berbicara, dalam suasana jiwa yang bening, pikiran yang jernih dan hati yang tidak diliputi emosi. Sampaikan permintaan maaf Anda kepada pasangan, karena menyimpan perasaan yang tidak nyaman kepadanya. Jika perasaan itu berupa praduga tertentu kepada pasangan, konfirmasikan hal itu kepadanya. Ingat, jangan menyalahkan pasangan. Obrolan ini hanyalah untuk menyalurkan ganjalan yang selama ini mengendap di hati. Bukan forum untuk menghakimi, atau saling menyalahkan di antara suami dan istri.
Bahkan lebih bagus lagi jika menggunakan canda agar suasana lebih cair dan nyaman bagi semua. Ada banyak kelucuan yang selama ini disimpan dalam kehidupan berumah tangga, yang bisa diungkapkan agar suasana menjadi santai dan tidak tegang. Dalam kenyamanan suasana, saling tertawa, saling menampakkan canda, perlahan-lahan kebekuan hubungan akan tercairkan. Berbagai hal yang mengganjal bisa dikeluarkan dan disalurkan, sehingga hati tidak lagi menyimpan sesuatu yang mengganjal dan tidak mengenakkan dari pasangan.
Jangan biarkan konflik tahap pertama ini berkembang dalam jiwa, karena lama-lama akan meningkat menuju konflik tahap kedua dan ketiga, yang akan semakin sulit untuk menyelesaikannya. Mumpung belum membesar, mumpung belum terlanjur, segera keluar pada tahap pertama ini. <Dimuat di Majalah Hadila Edisi Agustus 2021>
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *