Tanya:
Assalamualaikum. Apakah pernikahan tetap sah, kalau yang menikahkan orang tua angkat? Karena anaknya susah mengakui/asing dengan orang tua kandungnya, karena baru dberitahu setelah dewasa. (Hamba Allah)
Konsultan: Ustazah Nursilaturachmah Lc. (Dosen Ma’had Abu bakar Putri Surakarta)
Jawab:
Wa’alaikumussalaam warahmatullahi wabarakatuh. Saudari penanya yang dimuliakan Allah, anak angkat perempuan yang akan menikah, lalu dia baru mengetahui ayah kandungnya sendiri dan mungkin masih sangat sulit untuk menerima kenyataan yang ada. Bolehkah ayah angkatnya yang menikahkan? Dalam hal ini ada beberapa hal yang perlu diperhatikan.
Pertama, anak angkat atau adopsi statusnya berbeda dengan anak kandung dalam segala hal, jika tidak disusui oleh ibu angkatnya atau saudara ayah atau ibu angkatnya. Dia sama seperti anak orang lain yang hidup di bawah kepengasuhannya. Maka dari itu dalam aturan Islam, anak angkat tidak boleh diubah nasabnya. Artinya dia tetap dinasabkan kepada orang tua kandungnya selama masih diketahui, jika tidak diketahui dinasabkan kepada hamba Allah (Abdullah atau Abdurrahman misalnya). Hal ini ditetapkan dalam syariat untuk kebaikan semua pihak; baik anak, orang tua kandung atau pun orang tua angkatnya. Ketetapan ini sebagaimana disampaikan oleh Allah Swt dalam firman-Nya, “Panggillah (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka. Itulah yang lebih adil di sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, panggilah mereka sebagai saudara-saudaramu seagama atau maulamu. Tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Ahzab (33): 5)
Sebab diturunkannya ayat ini terkait dengan Rasulullah Saw, di mana dahulu beliau memiliki seorang anak angkat yang bernama Zaid. Masyarakat menyebutnya dengan panggilan Zaid bin Muhammad. Padahal nama ayah kandungnya Haritsah. Dan setelah Allah menurunkan ayat di atas, mereka tidak lagi menyebutnya Zaid bin Muhammad, akan tetapi meraka menyebutnya dengan Zaid bin Haritsah. Sebagaimana yang diceritakan Ibnu Umar Ra, “Kami tidak pernah lagi memanggil Zaid bin Haritsah, namun Zaid bin Muhammad, sampai Allah menurunkan firmannya “Panggilah dengan nama ayah kandung mereka.” (H.R. Bukhari)
Kedua, karena tidak ada hubungan nasab antara anak angkat dengan orang tua angkat maka tidak berlaku hukum-hukum nasab dalam hal ini. Sehingga mereka tidak bisa saling mewarisi, tidak bisa menjadi mahram, tidak pula wali nikah. Hukum nasab yang berlaku, tetap kembali kepada ayah kandungnya. Sehingga apabila yang bersangkutan akan menikah, sebagai anak perempuan, maka yang berhak menjadi wali untuknya adalah ayah kandungnya sendiri, bukan ayah angkatnya.
Lantas, bagaimana jika anak tersebut masih belum bisa menerima kenyataan tentang ayah kandung dan ayah angkatnya, sehingga saat menikah ia menginginkan ayah angkatnya yang menjadi wali dalam pernikahannya? Apakah pernikahan tersebut dihukumi sah menurut syariat?
Ayah angkat bisa saja menjadi wali nikah dari putri angkatnya jika dia mendapatkan mandat dari ayah kandungnya. Dalam hal ini, status ayah angkat bukan sebagai wali yang sesungguhnya, akan tetapi hanya sebagai wakil dari ayah kandungnya dengan permintaan dari yang berhak secara resmi; baik lisan atau tulisan. Sebab bagi pernikahan seorang gadis, kedudukan wali kandung ini tidak bisa dianggap remeh. Selama ia masih ada, dialah yang paling berhak untuk menikahkan putri kandungnya melebihi siapa pun. Ayah angkat tidak bisa menikahkannya tanpa mandat atau izin dari wali yang sah. Jika dilakukan tanpa izin, maka pernikahan tersebut dihukumi tidak sah selama keberadaan ayah kandungnya bisa diketahui, berbeda kasus jika ayah kandung yang bersangkutan sudah tidak bisa lagi diketahui. Hal ini berdasarkan pada hadits Rasulullah Saw, “Wanita manapun yang menikah tanpa seizin walinya, maka pernikahannya bathil, pernikahannya bathil, pernikahannya bathil. Jika seseorang menggaulinya, maka wanita itu berhak mendapatkan mahar, sehingga ia dihalalkan terhadap kemaluannya. Jika mereka terlunta-lunta (tidak mempunyai wali), maka penguasa adalah wali bagi siapa (wanita) yang tidak mempunyai wali.” (H.R. Tirmidzi) <Terbit di Majalah Hadila Edisi 151, Januari 2020>