JAKARTA, HADILA — Pemerintah Indonesia meminta Pemerintah Arab Saudi menunda penerapan kebijakan rekam biometrik bagi calon jemaah umrah. Permintaan ini telah disampaikan melalui lisan maupun surat.
Hal itu ini disampaikan Direktur Jenderal Penyelenggaraan Haji dan Umrah (Dirjen PHU) Kemenag Nizar Ali, saat memimpin Rapat Koordinasi Penyelenggaraan Perjalanan Ibadah Umrah Membahas Kebijakan Biometrik, di Jakarta.
“Permintaan penundaan ini sampai pihak Visa Facilitation Service (VFS) Tasheel selaku operator yang ditunjuk, dapat menyiapkan segala sesuatunya secara layak,” terang Nizar, Kamis (27/12/2018), seperti dilansir di laman kemenag.go.id.
Rekam Biometrik adalah sebuah metode untuk mengenali seseorang berdasarkan ciri-ciri fisik, karakter, dan perilakunya secara otomatis. Pengenalan karakter ini dapat dilakukan melalui scan retina, sidik jari, pola wajah lewat foto dan sebagainya. Proses scan dan foto inilah yang dinamakan perekaman biometrik.
Tidak hanya untuk jamaah umrah, perekaman data biometrik sebenarnya sudah diterapkan pada jamaah haji. Kebijakan ini juga merupakan kebijakan baru untuk jamaah haji Indonesia. Durasi perekaman data biometrik biasanya berlangsung cepat, hanya sekitar 5 menit-an untuk satu orang.
Pada tahun-tahun sebelumnya, proses ini dilakukan di bandara kedatangan di Arab Saudi. Proses perekaman di Tanah Suci ini memakan waktu lama untuk satu kelompok jamaah dan dapat membuat jamaah semakin kelelahan setelah menjalani rute Indonesia-Saudi dengan waktu tempuh kira-kira sembilan jam.
Perekaman biometrik ini diharapkan agar calon jamaah tidak terlalu lama menunggu saat tiba di tanah suci, karena tidak harus melakukan perekaman biometrik di sana.
Pada bagian lain Nizar merekomendasikan agar pengambilan biometrik ini dilakukan sebelum jemaah keluar dari Indonesia seperti halnya jemaah haji, atau kerja sama sharing data biometrik antara Arab Saudi dengan Kantor Imigrasi Indonesia.
“Ini akan sangat membantu mengurangi lalu lintas jemaah yang memakan biaya cukup besar bagi mereka yang tinggal di daerah,” ujar Nizar.
Dalam rapat koordinasi ini, hadir perwakilan dari Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Kementerian Luar Negeri serta para pengurus asosiasi penyelenggara perjalanan ibadah umrah seperti Permusyawaratan Antarsyarikat Travel Umrah dan Haji Indonesia (PATUHI) dan asosiasi penyelenggara perjalanan ibadah umrah lainnya.
Senada dengan Nizar Ali, Direktur Bina Umrah dan Haji Khusus M. Arfi Hatim mengatakan langkah Pemerintah Kerajaan Arab Saudi yang mengharuskan rekam biometrik sebagai syarat pengajuan visa umrah, telah menimbulkan kekhawatiran.
Menurutnya, banyak jemaah yang mengurungkan niat untuk melaksanakan ibadah umrah karena terkendala syarat rekam biometrik tersebut. Hal ini disebabkan sulit dan mahalnya proses rekam biometrik. Kondisi geografis Indonesia yang merupakan negara kepulauan, menjadi salah satu alasan proses rekam biometrik tersebut menjadi sulit dan mahal.
“Sementara keberadaan kantor layanan biometrik sangat terbatas. Ada biaya tambahan yang dikeluarkan untuk dapat sampai ke lokasi layanan biometrik tersebut,” jelas Arfi.
Arfi menyatakan, Direktorat Bina Umrah dan Haji Khusus sengaja mengundang para stake holder terkait kebijakan ini untuk duduk bersama mencarikan jalan terbaik bagi jemaah umrah.
Sementara itu, para asosiasi meminta agar BKPM meninjau izin VFS Tasheel di Indonesia karena terbukti proses pengambilan biometrik ini dinilai menyengsarakan jemaah. Mereka mencontohkan Malaysia yang menurut mereka tetap menolak keberadaan VFS Tasheel sekalipun kebijakan itu berasal dari Pemerintah Arab Saudi.
Mereka menilai tidak banyak yang diberikan oleh VFS Tasheel bagi pertumbuhan dunia investasi di Indonesia, justru mereka menarik dana masyarakat ke luar negeri.
Terhadap hal ini, BKPM melalui Kasubdit Deregulasi meminta para asosiasi untuk bersurat secara resmi agar dapat dilakukan klarifikasi dan pertemuan dengan pihak VFS Tasheel.
Pemerintah, baik melalui Kementerian Luar Negeri maupun Kementerian Agama telah meminta agar kebijkaan ini ditinjau. Namun pemerintah Arab Saudi hingga saat ini masih bersikukuh untuk melaksanakannya. (***)