Hadila.co.id — Aku bungsu, anak ke-4 dari 4 bersaudara. Alhamdulillah, saat ini aku bisa memperkenalkan diri dengan tegas bahwa aku seorang muslimah. Selain karena memang demikian, kewajiban sekaligus identitas sebagai muslimah yaitu berhijab, telah pula kukenakan.
Aku mendapat hidayah dan memutuskan masuk Islam (mualaf) 3 tahun yang lalu, saat kelas 2 SMA (17 tahun). Dengan agamaku yang sebelumnya aku merasa belum mendapatkan ketenangan jiwa.
Ayahku meninggal dunia saat aku masih duduk di bangku kelas 4 SD. Keluargaku kehilangan tulang punggung dan pemimpin. Kehidupan menjadi berubah. Kehidupanku seolah menjadi sepi, hampa, dan kosong. Terlebih saat kedua kakakku menikah.
Karena suatu hal aku, ibu, dan kakak (ketiga) pindah dan menempati rumah almarhumah nenek. Di sini masyarakatnya mayoritas beragama muslim. Aku tumbuh dan besar di sini, dan sedikit banyak ‘mengamati’ aktivitas masyarakatnya. Termasuk aktivitas ibadah dan bermasyarakat muslim di sini.
Tak berapa lama, ibuku dipinang oleh seseorang. Ibu pun menikah dan harus tinggal bersama suami (maaf) barunya. Sedang aku dan kakakku tetap tinggal di rumah nenek. Kami hanya berdua. Ibu sesekali datang menengok kami.
Keadaan itu membuatku semakin merasa sendiri. Merasa hampa. Aku senantiasa tak tenang dan gelisah, mengenai banyak hal. Aku mulai malas ke gereja. Mungkin ibaratnya, aku sudah bisa disebut kafir.
Saat aku merasa hampa aku hanya bisa menghibur diri dengan main ke rumah saudaraku di sebelah rumah. Sering saat melihat saudaraku salat hatiku merasa tenang. Aku merasakan ada sesuatu dalam hatiku, semacam rindu, atau entahlah yang tak dapat kudefiniskan. Di sekolah pun aku lebih nyaman duduk di bangku dekat musala. Aku senang memerhatikan teman-temanku salat, mendengar temanku mengaji, dan itu menambah tenangnya jiwaku. Bahkan, pernah pula aku mengenakan jilbab ke sekolah, mengejutkan teman-teman dan guruku.
Rasa yang tak kumengerti itu membuatku bimbang. Kumantapkan langkahku, mulai sedikit-sedikit belajar mengenai Islam, walau terkadang merasa bersalah karena saat itu aku masih beragama Kristen.
Akhirnya, saat kelas 2 SMA memberanikan diri, memutuskan menjadi mualaf. Kuajak salah satu teman untuk mengantarkanku ke sebuah masjid besar. Akhirnya aku pun mengucapkan dua kalimat syahadat itu. Maka sah lah aku menjadi muslim.
Awalnya orangtuaku dan ketiga kakakku menjauhiku. Kadang pula mencemooh. Namun dengan keteguhanku, akhirnya mereka sadar bahwa agama itu adalah sebuah pilihan. Sebuah kepercayaan atau keyakinan yang tidak dapat dipaksakan
Sejak saat itu jalan hidupku menjadi lebih berwarna. Tenang dan terasa lebih mudah. Banyak jalan dibukakan. Termasuk soal rezeki. Saat aku duduk di bangku kelas 3 aku diajak seorang temanku untuk kerja setelah pulang sekolah. Alhamdulillah, tabungan hasil kerja cukup untuk membantu ibu membayar uang sekolah yang tertunggak dan mengambil ijazah. Sungguh senang hatiku dan aku merasa Allah telah menuntunku dan memudahkan urusanku.
Setelah lulus pun aku langsung diterima kerja di perusahaan fashion muslim. Kurasahan demikian ‘hebat’ rahmat dan karunia Allah padaku. Islam telah menuntunku, memberiku ketenangan dan kemudahan. Kuucap syukur kepada Allah, karena semua ini atas rida-Nya. [Oleh: Arum, Yogyakarta. Dimuat dalam Majalah Hadila Edisi Mei 2014]