Oleh: Cahyadi Takariawan (Konselor Keluarga Nasional)
Pernikahan dan menjalani kehidupan berumah tangga yang sakinah dan bahagia, adalah dambaan dan impian semua manusia. Namun dalam kenyataannya, tidak semua orang bisa mewujudkannya. Ada pasangan yang berhasil menjalani kehidupan pernikahan dengan bahagia hingga akhir usia. Ada pasangan yang mampu bertahan tetapi penuh dinamika bahkan penuh luka. Ada pula pasangan yang usia pernikahan mereka hanya seumur jagung, bahkan hanya beberapa menit saja.
Februari 2019, muncul berita pernikahan yang hanya bertahan dalam hitungan menit saja. Peristiwa yang terjadi di Kuwait ini, menjadi viral di medsos karena pengantin perempuan langsung menggugat cerai suaminya setelah beberapa menit sah menjadi suami istri. Dikutip dari laman mynewshub, awalnya pernikahan itu berjalan sangat khidmat. Mempelai pria dengan lancar mengucapkan ijab kabul dengan disaksikan keluarga serta kerabat. Sekitar 20 menit setelah resmi menikah, pengantin perempuan tidak sengaja tersandung saat akan keluar dari ruangan pernikahan.
Alih-alih menolong, pengantin lelaki justru tampak mengejek istrinya. Ia tertawa sambil mengejek sang istri. Bahkan, pengantin lelaki menyebut istrinya sebagai bodoh karena tersandung. Reaksi negatif itu menimbulkan kemarahan di hati sang istri, sehingga akhirnya ia kembali menemui penghulu dan menggugat cerai suami. Acara pernikahan itu berakhir ricuh dan penuh perdebatan. Tidak sampai setengah jam semenjak akad nikah dinyatakan sah, sudah terjadi gugatan cerai pada saat acara resepsi pernikahan masih berjalan.
Tercelanya Perceraian
Talak atau cerai adalah salah satu bagian dari ajaran Islam yang mulia. Allah Ta’ala telah berfirman, “Talak (yang dapat dirujuki adalah) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang makruf atau menceraikan dengan cara yang baik.” (Q.S. Al Baqarah (2): 229).
“Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (Q.S. Ath Thalaq: 1).
Meskipun cerai merupakan hal yang dibolehkan dalam syariat, akan tetapi pada dasarnya umat Islam tidak diarahkan untuk mengambil jalan perceraian. Semangat Islam bukanlah semangat menceraikan. Pada dasarnya kita diperintahkan untuk bersatu, termasuk dalam kehidupan pernikahan, suami istri diperintahkan untuk menjaga keutuhan keluarga. Ajaran Islam memiliki semangat untuk menyatukan hubungan, bukan menceraiberaikan, sebagaimana inti dari doa Nabi Saw berikut “Allahumma allif baina qulubina wa aslih dzata bainina. Ya Allah, satukanlah hati-hati kami dan perbaikilah urusan kami.” (H.R. Abu Dawud)
Talak hanya bisa dijadikan pilihan apabila sudah tidak ada pilihan lain yang bisa menyatukan suami istri. Oleh karena itu perceraian menjadi sebuah perbuatan yang harus dihindari semaksimal mungkin. Di antara dalil tidak disukainya perceraian adalah hadis dari Ibnu Umar Ra, bahwa Nabi Saw bersabda, “Perbuatan halal yang paling dibenci Allah adalah talak.” (H.R. Abu Dawud)
Diriwayatkan dari Nabi Muhammad Saw, beliau bersabda, “Perkara halal yang dibenci Allah adalah perceraian,” dan hadis ini tidaklah shahih akan tetapi maknanya shahih, karena Allah Ta’ala membenci perceraian namun Dia tidaklah mengharamkan perceraian atas para hamba-Nya untuk mempermudah mereka. Jika di sana terdapat sebab yang syar’i atau alasan yang umum dan jelas untuk bercerai, maka dibolehkan, dan semua tergantung pada sebab-sebab yang membuat ia menahan istrinya.
“Namun jika menahan sang istri membuatnya menghampiri perkara-perkara yang terlarang secara syar’i, tidaklah mungkin baginya untuk mengatasi perkara-perkara tersebut kecuali dengan menceraikannya, maka ia (boleh) menceraikannya, sebagaimana jika sang istri ternyata kurang berkomitmen terhadap agamanya atau kurang akhlaknya dan sulit untuk meluruskannya. Maka di sini kami katakan, “Yang afdhal adalah menceraikan.” Ada pun jika tanpa ada sebab yang dibenarkan syar’i, atau alasan yang umum, maka yang afdhal adalah tidak bercerai, bahkan jika bercerai dalam kondisi seperti ini hukumnya makruh.” Demikian penjelasan Syekh Al Utsaimin.
Jika kita cermati, perceraian adalah perbuatan yang diajarkan oleh setan dan tukang sihir untuk merusak, sebagaimana firman Allah Swt, “Mereka belajar dari keduanya sihir yang bisa memisahkan antara seseorang dengan istrinya.” (Q.S. Al Baqarah (2): 102).
Demikian pula hadis dari Jabir, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sesungguhnya iblis meletakkan singgasananya di atas air, kemudian dia mengutus bala tentaranya, maka yang akan menjadi pasukan yang paling dekat dengan dia adalah yang paling banyak fitnahnya. Lalu ada yang datang dan berkata, ‘Saya telah berbuat ini dan itu’. Maka iblis berkata, ‘Engkau tidak berbuat apa-apa’. Kemudian ada yang datang lagi dan berkata, ‘Saya tidak meninggalkan seorang pun kecuali telah aku pisahkan antara dia dengan istrinya’. Maka iblis mendekatkan dia padanya dan mengatakan, ‘Engkaulah sebaik-baik pasukanku.” (H.R. Imam Muslim)
Dengan demikian, perceraian bukanlah sebuah pilihan yang dipermudah atau dimudah-mudahkan, sebagaimana terjadi dalam kehidupan modern saat ini. Dibolehkannya cerai adalah dalam kondisi yang sangat khusus, di mana tidak ada cara lagi untuk mempertahankan pernikahan. Maka Nabi Muhammad Saw mencela perceraian yang dilakukan tanpa sebab yang diperbolehkan. Beliau bersabda, “Perempuan mana saja yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab, maka haram baginya bau surga.” (H.R. Abu Dawud, Ibnu Majah, Imam Amad). <>