Hadila – Belakangan ini ada fenomena menarik. Secara umum, angka pernikahan di Indonesia disebut menurun. Sementara itu, angka pernikahan anak usia dini justru naik. Satu kondisi yang begitu kontradiktif.
Menurut detik.com, data Badan Pusat Statistik (BPS) 2024 menyebutkan pada 2023 jumlah pernikahan hanya mencapai 1,58 juta pasangan. Angka ini turun 7,51 persen atau sebanyak 128.000 dibanding 2022 yang mencapai 1,71 juta pasangan. Bahkan, penurunan ini tidak hanya terjadi pada satu tahun terakhir, tapi sudah berlangsung secara konsisten setidaknya dalam lima tahun terakhir.
Di sisi lain, kompas.id menyebut kalau berdasar data BPS, selama satu dekade terakhir, angka perkawinan di bawah umur terus terjadi. Setiap tahun, terjadi perkawinan usia anak di Indonesia sekitar 10,5 persen.
Berdasar data UNICEF 2023, Indonesia menempati peringkat ke-4 di dunia dengan estimasi jumlah anak perempuan yang dinikahkan mencapai 25,53 juta jiwa. Angka tersebut sekaligus menobatkan Indonesia sebagai negara di kawasan ASEAN yang memiliki kasus perkawinan anak terbesar. Ada banyak alasan yang menyebabkan hal tersebut.
Belum Dipertemukan dengan Jodoh
Sementara itu, seorang narasumber berusia 30 tahun, Dian Ratnasari, mengaku belum menikah karena belum dipertemukan dengan jodohnya. Sebagai perempuan, ia memang cenderung pasif, yaitu dengan menunggu orang untuk datang melamarnya. “Saya menunggu ada yang datang melamar, tapi bukan berarti saya cuma diam di rumah dan nggak ngapa-ngapain. Saya juga mencoba membangun relasi, berkenalan sama orang-orang, juga pernah minta dijembatani untuk taaruf,” ujarnya.
Secara fisik dan mental, warga Kota Semarang ini mengaku sudah cukup siap untuk menikah. Ia juga tidak memiliki kriteria yang muluk-muluk terhadap calon pasangannya, cukup baik dan mau menerima dirinya apa adanya. “Tapi ya begitu, belum ada yang ‘klik’ sampai sekarang. Kalau dikenalkan sama orang, selalu ada ketidakcocokan, sehingga tidak bisa dilanjutkan,” jelasnya.
Di sisi lain, warga Ponorogo, Jawa Timur, yang kini berdomisili di Kartasura, Sukoharjo, Muhammad As’ad Asy-Syifa’, mengaku belum menikah di usianya yang hampir kepala tiga karena memang masih memperbaiki diri dan tidak ingin terburu-buru. Selain itu, kini ia juga tengah disibukkan dengan pekerjaan dan birrul walidain.
“Target menikah insyaallah tahun ini, mohon doanya saja. Tapi ya semuanya saya kembalikan kepada yang Maha Merencanakan,” kata As’ad.
Ditanya soal ketakutan/kekhawatiran terkait pernikahan, As’ad mengungkapkan kalau ketakutan/kekhawatiran adalah hal yang manusiawi. Menurutnya, perasaan itu muncul karena ketidaktahuan. “Saya sendiri ada ketakutan/kekhawatiran untuk mengemban amanah, bagaimana nanti saya menjadi suami yang baik untuk istri saya,” terangnya.
Oleh sebab itu, kini As’ad berusaha untuk memperbaiki diri serta berdoa. Ia mengaku sudah memperjuangkan dan mempersiapkan pernikahan selama kurang lebih 7 tahun. “Alhamdulillah perjuangan 7 tahun tersebut sudah sampai tahap khitbah,” imbuhnya.
Mempersiapkan Pernikahan
Ustazah Vida Robi’ah Al-Adawiyah, S.H., Konselor Rumah Keluarga Indonesia, menerangkan kalau mempersiapkan pernikahan adalah hal yang penting untuk menghadapi berbagai ketakutan/kekhawatiran seseorang. Salah satu hal yang harus disiapkan adalah materi, khususnya bagi laki-laki.
“Kalau ditanya, gimana cara menghadapi kekhawatiran laki-laki terkait materi saat akan menikah, saya bukan tipe orang yang akan menjawab dengan hiburan, seperti, ‘Nggak usah dipikirkan, nanti pasti ada jalannya.’ Kita boleh tawakal setelah ikhtiar. Tapi kalau kita tawakal tanpa ikhtiar, itu nekat,” terangnya, Jumat (28/6/2024).
Bagi Ustazah Vida, berani dan nekat itu berbeda. Maka, seorang laki-laki harus mengusahakan semaksimal mungkin, karena ia memang memiliki kewajiban memberikan nafkah kepada istri. Kewajiban tersebut tidak akan terhapus meskipun istri memiliki penghasilan yang lebih tinggi. “Jadi tidak boleh ada tulang rusuk yang jadi tulang punggung. Sesedikit apa pun, suami harus memberi nafkah pada istri,” tegasnya.
Soal materi ini, lanjut Ustazah Vida, bisa diatasi dengan keyakinan. Selama seseorang yakin kalau penghasilannya sudah cukup ‘pantas’, ia bisa melanjutkan ikhtiarnya untuk menikah. “Nanti insyaallah ke depan Allah akan memberi tambahan rezeki. Jadi jangan sampai overthinking. Selama Anda sudah punya penghasilan yang cukup untuk standar berdua, lanjutkan saja. Insyaallah akan dimudahkan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Ustazah Vida juga menjelaskan terkait pentingnya berdoa secara baik untuk para single agar segera dipertemukan dengan jodohnya. Ia memberikan gambaran bahwa berdoa kepada Allah itu seperti mengajukan proposal, sehingga tidak boleh asal-asalan.
“Misalnya, yaa Allah, jika baik untuk agamaku, duniaku, diriku, kedua orang tuaku, banyak kebermanfaatannya, maka jodohkanlah. Ikhtiar duniawinya ditempuh, ikhtiar syar’i-nya juga ditempuh, setelah itu yes or no, silakan Allah yang memutuskan. Kita ikhlas menerima apa pun hasilnya,” papar Ustazah Vida.
Oleh sebab itu, sebagai manusia, kita tidak boleh menginvestasikan rasa cinta, suka, dan sebagainya kepada seseorang. Pengharapan kepada seseorang bisa menjadikan kita broken heart (patah hati). Pengharapan terbaik hanya bisa diberikan kepada Allah, dan dijamin tidak akan membuat kita patah hati.
Konsep Jodoh
Terkait hal ini, As’ad mengungkapkan pandangannya terkait konsep jodoh. Baginya, ia tidak mencari istri, tetapi ia ingin menjadi suami. Maksudnya kurang lebih sama dengan istilah, ‘bukan mencari pasangan yang baik, tapi bagaimana kita menjadi pasangan yang baik.’
“Mencari istri itu mengharapkan sesuatu yang tidak bisa kita kontrol, sementara menjadi suami yang baik adalah hal yang bisa kita kontrol. Artinya, kita tidak menuntut apa pun kepada orang lain untuk jadi pasangan yang baik untuk kita, tetapi kita fokus untuk menjadi pasangan yang baik untuk pasangan kita,” jelas As’ad.
Menghadapi Komentar Bullying
Di sisi lain, Faiz Alfi Rachmawati, S.Psi., M.Psi., Psikolog., seorang Psikolog Klinis dari Griya Konsultasi Magelang, membagikan beberapa kiat kepada para single untuk menghadapi tindakan bully terkait statusnya—mengingat para single memang kerap menjadi sasaran olok-olok ketika belum menikah.
Sebagai muslim, terang Faiz, kita harus mengimani qada dan qadar, di mana salah satunya terkait hal jodoh. Sebelum kita lahir, Allah sudah menentukan siapa jodoh kita.
“Namun, sekarang kita dihadapkan dengan lingkungan toxic. Orang-orang kerap mengomentari kehidupan orang lain, misalnya, “Sudah umur segitu kok belum menikah.” Saya memahami kalau memang tidak mudah untuk menghadapi hal tersebut, apalagi kalau kita belum selesai dengan problem kesehatan mental kita,” ungkap Faiz.
Lantas, bagaimana cara untuk menghadapinya? Faiz menegaskan bahwa dalam hidup ini ada beberapa hal yang tidak bisa kita kontrol/kendalikan. Salah satunya komentar orang lain. Namun demikian, tidak semua orang akan berkomentar negatif terhadap kita, ada pula yang senantiasa berkomentar positif.
Oleh sebab itu, hal yang bisa kita lakukan adalah mengambil energi dari orang-orang yang memberikan komentar positif, dan menghempaskan komentar-komentar negatif.
“Jadi, langkah yang bisa kita lakukan untuk menghadapi kondisi ini adalah fokus pada hal yang bisa kita kendalikan. Salah satunya adalah diri kita sendiri. Artinya, kita bisa mulai memperbaiki diri dan meningkatkan kesehatan mental,” terang Faiz. Hal ini selanjutnya bisa dicapai dengan bergabung komunitas untuk jadi support system hingga mengikuiti kegiatan seminar pranikah dan sebagainya. <Ibnu Majah/Dimuat di Majalah Hadila Edisi Agustus 2024>
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *