Oleh: Cahyadi Takariawan (Konsultan Keluarga dari JFC)
Tahukah Anda, seberapa jauh jarak yang terbentang antara akalnya laki-laki dan perasaan perempuan? Sungguh, saya tidak ingin membesar-besarkan perbedaan. Namun sekadar berbagi, agar kalian bersiap diri dan bisa menghindari. Bagi saya, mudah memahami mengapa kaum perempuan lebih cepat merasakan ketidakpuasan dalam hidup berumah tangga. Mudah juga bagi saya memahami fakta bahwa 70 % perceraian terjadi karena gugat cerai pihak istri. Kami menyaksikan fenomena ‘jarak akal dan perasaan’ ini setiap hari di ruang konseling.
Ini yang sering saya sampaikan di Kelas Pranikah, “Kelak saat kalian menikah, air mata perempuan mudah tumpah karena merasa tersakiti oleh ucapan dan tindakan suami. Sementara suami merasa heran mengapa istri bisa menangis oleh ucapan yang baginya ‘cuma kayak gitu’, atau tindakan yang baginya biasa saja.”
Ada yang Terluka, Ada yang Tidak Merasa
Seorang istri datang ke ruang konseling, bercerita dengan air mata yang tumpah ruah. Menyampaikan semua kegetiran yang dialami selama hidup berumah tangga. Seakan tidak ada sisi bahagia sama sekali, karena tertutup oleh berbagai kesedihan yang dipendam dalam-dalam.
“Namun yang saya heran, suami saya merasa tidak ada masalah. Setiap saya ajak berbicara tentang masalah rumah tangga, dia selalu mengatakan tidak ada masalah. Dia merasa baik-baik saja, jadi dia menyimpulkan sayalah yang bermasalah”, ungkap sang istri.
Salah satu yang membuat suasana perbedaan tersebut adalah sebanyak apa suami dan istri menggunakan potensi akal dan perasaannya. Ketika menghadapi masalah, lelaki cenderung lebih banyak menggunakan akal, sehingga selalu berusaha bersikap rasional dalam memahami realitas masalah. Lelaki memiliki ukuran tersendiri tentang berat atau ringannya suatu masalah, tentang sulit atau mudahnya menyelesaikan masalah.
Ego kelelakiannya dan konstruksi sosial yang terbentuk di masyarakat selama ini, mengajak dia untuk tidak mau tampak ada masalah di mata istri. “Aku bisa”, adalah kata akal lelaki. Pantang disebut tidak bisa dan tidak mampu.
Berbeda dengan perempuan yang lebih banyak menggunakan potensi perasaan. Dengan perasaannya, istri merasakan tekanan yang berat saat menghadapi masalah. Menangis bagi kaum perempuan adalah bahasa perasaan, tidak saja soal kesedihan atau keberatan suatu masalah, bahkan perempuan bisa menangis untuk hal-hal yang tidak mampu dia jelaskan.
Sulit memahami karakter suami, cukup membuat para istri menangis. Sambil merasakan keheranan, betapa anehnya laki-laki. Ini di sisi istri. Di sisi suami, mereka pun sulit mengerti mengapa istrinya demikian cemas dan banyak menuntut. Banyak suami tidak mengerti tuntutan istri, sambil merasa keheranan, betapa anehnya perempuan.
Menuju Harmoni
Saya selalu meyakini bahwa semua hal dalam hidup berumah tangga itu bisa dipelajari. Ada sebab-sebab yang bisa dipelajari dan dijelaskan secara akademik, mengapa sebuah keluarga bisa harmonis dan bahagia. Begitu pula dengan alasan mengapa sebuah keluarga lebih sering mengalami benturan, konflik dan pertengkaran dari hari ke hari. Hingga akhirnya banyak yang memilih untuk bercerai.
Tidak sulit memahami karakter suami, tidak sulit memahami karakter istri. Sepanjang kedua belah pihak saling membuka diri untuk terus belajar, mengerti, dan mencari informasi. Sangat banyak buku dan kepustakaan untuk bisa dipelajari, sebagai pondasi memahami siapa suami dan siapa istri. Yang sulit adalah fase membuka diri.
Ego yang sama-sama tinggi membuat suami dan istri selalu menciptakan jarak, enggan melakukan hal terbaik untuk pasangan. Saling membuat syarat untuk hadirnya cinta, “Aku mau berubah, jika kamu pun berubah. Sayangnya aku tidak melihat kamu mau berubah, maka aku pun tidak mau berubah. Sampai kapan pun aku tidak akan memaafkan kamu kalau kamu tidak meminta maaf kepada aku.” Itulah yang sering terjadi, saling menciptakan jarak, saling membuat syarat. Akhirnya semakin lama semakin jauh.
Jika suami dan istri berhasil membuka diri untuk mengerti, memahami, menerima, dan berubah bersama-sama pasangan menuju kondisi yang lebih baik, maka harapan penyatuan sangat terbuka lebar. Jika saling menutup diri, saling menuduh, saling melukai, saling menghukum, saling mencela, saling mengkritik, saling menyalahkan, saling menyerang, saling mendiamkan, saling menjauh, maka selamanya mereka tidak akan pernah mengalami penyatuan hati dan jiwa.
Saling membuka diri, mengerti, memahami, dan saling memberi yang terbaik, itulah kunci untuk selalu menjaga kebahagiaan dan keharmonisan keluarga.<Dimuat di Majalah Hadila Edisi Desember 2017>