Jodoh. Kata yang cukup familiar kita dengar, meski sebenarnya tidak ada penggambaran saklek mengenai definisinya. Bahasa Indonesia hanya bisa menjelaskan kata ‘jodoh’ sebagai ‘cocok dan sesuai’. Definisi yang tentu tidak cukup untuk menjelaskan konteks ‘jodoh’ secara mendalam. Karena cocok dan sesuai belum tentu jodoh, meski kalau jodoh pasti cocok dan sesuai. Dan jodoh pasti bertamu
Jodoh itu urusan Allah, sudah pasti ditentukan Allah, sehingga logikanya kita tidak perlu khawatir tidak kebagian. Namun ternyata bagi lajang yang berusia di atas 25 tahun, logika tersebut tidak cukup menenangkan.
Pertanyaan-pertanyaan seputar jodoh yang terasa menyudutkan, omongan-omongan miring dan gosip-gosip para tetangga yang membuat gerah, jumlah teman sebaya lajang yang kian bisa dihitung dengan jari, tampilan foto-foto keluarga nan bahagia di sosial media yang menyulut iri, adik perempuan yang sudah memberi tanda-tanda akan segera dilamar, dan masih banyak hal lainnya; membuat logika tersebut tak cukup menjadi penyeimbang keresahan. Terlebih saat kondisi mental (ruhani) sedang tidak fit.
Begitu pun bagi para orang tua dari si lajang. Cemas, tatkala memiliki anak lajang di usia matang, sementara teman-temannya sudah mulai membangun rumah tangga dan punya anak. Khawatir, saat anak menjadi trending topic di acara-acara pertemuan keluarga lantaran belum menikah. Resah, panik, atau yang lebih ekstrim mungkin paranoid, karena lintasan pikiran negatif tentang kemungkinan penyimpangan bisa jadi menghampiri.
Menurut Ustaz Tri Asmoro Kurniawan, Konsultan Nasional Keluarga Sakinah, kecemasan orang tua saat jodoh anaknya tak jua datang sifatnya wajar, sepanjang dalam porsi yang tidak berlebihan (hingga memaksa anak untuk menikah). Namun meski demikian, kecemasan ini seharusnya tidak dipelihara, karena justru akan bersifat kontraproduktif, baik pada diri orangtua ataupun anak. Orang tua dan anak harusnya lebih fokus pada kesiapan (bersegera menyiapkan), bukan pada ‘kapannya’. Harus ada keyakinan kuat bahwa jodoh pasti bertamu.
“Menikah adalah urusan yang sangat serius. Maka disebut sebagai menyempurnakan setengah din. Tujuan menikah kan akhirat, bukan sekadar urusan ranjang. Ada surga neraka di dalamnya. Karena itu, yang terpenting adalah mengetahui alasan, kenapa seorang anak itu enggan atau belum menikah. Karena usia matang, bukan jaminan matangnya mental,”ungkap Ustaz Tri Asmoro Kurniawan.
Tak Ada Kata Terlambat
Dalam kacamata tauhid, tidak ada istilah terlambat mencari jodoh. Pemahaman ini harus dimiliki oleh orang tua (juga anak) agar tidak ada kegelisahan. Dua hal yang harus dipahami dan diyakini, yaitu bahwa seluruh ciptaan Allah Swt pasti berpasangan, dan bahwa berputus asa (atas jodoh) justru akan membuat terputus dari rahmat Allah Swt. Allah Swt berfirman, “Dan segala sesuatu kami ciptakan berpasang-pasangan supaya kamu mengingat kebesaran Allah.” [Q. S. adz-Dzariyat (51): 49]
Saat anak tak kunjung menikah, memastikan pemahaman ini dimilikinya, jauh lebih penting ketimbang sekadar panik. Karena saat orangtua panik, maka energi negatifnya justru bisa memengaruhi anak. Belum datangnya jodoh sudah cukup menjadi masalah bagi anak, maka kepanikan orang tua bisa jadi akan lebih membebaninya.
Pravissi Shanti, M.Psi, Dosen Fakultas Pendidikan Psikologi Universitas Negeri Malang, mengungkapkan bahwa kecemasan orang tua yang terbaca oleh anak, bisa membuat anak merasa ada yang kurang dengan dirinya. Sedih, kurang percaya diri, menarik diri dari lingkungan, sembarang memilih, terjerumus dalam maksiat. Bahkan depresi dan (justru) tak ingin menikah, bisa jadi muncul kemudian.
Namun, hal ini bukan berarti bahwa orang tua tidak boleh turut andil dalam perkara jodoh anak. Campur tangan orang tua dalam perkara jodoh anak, justru diperintahkan sebagai wujud tanggung jawabnya. Allah Swt berfirman, ”Kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya) lagi Maha mengetahui.” [Q. S. An-Nur (): 32]
Campur tangan itu adalah dengan ‘menyiapkan’ jodoh anak dan menjadi energi positif bagi anak saat mendampinginya dalam menjemput jodoh. Karena jodoh pasti bertamu.
Siapkan Jodohnya
Orang tua memang tidak bisa menentukan atau memaksakan jodoh anak. Namun, sejatinya orang tua justru telah menjadi ‘penentu’ jodoh anak , bahkan sejak anak belum dilahirkan.
Rasulullah Saw bersabda,“Wanita itu dinikahi karena empat perkara: karena hartanya, kemuliaan keturunan (nasabnya), kecantikannya, dan karena agamanya. Maka nikahilah wanita yang baik agamanya niscaya kamu beruntung.”[H. R. Muslim]
Hadis tersebut dikaitkan dengan firman Allah Swt: “Wanita-wanita yang keji adalah untuk laki-laki yang keji, dan laki-laki yang keji adalah buat wanita-wanita yang keji (pula), dan wanita-wanita yang baik adalah untuk laki-laki yang baik dan laki-laki yang baik adalah untuk wanita-wanita yang baik (pula).” [Q. S. An-Nur (24): 26]
Sehingga didapat kesimpulan bahwa, jika orang tua membangun kebaikan pada nasabnya, maka sebenarnya dia tengah ‘memilihkan’ bagi anaknya, calon suami dari nasab yang baik pula. Saat orang tua sedari kecil membekali anak dengan pendidikan agama, atau merancang anak agar memiliki harta dan kecantikan, sejatinya dia tengah menyiapkan bagi anaknya, calon suami yang serupa. Meyakinkan anak bahwa jodoh pasti bertamu
Jadilah Energi Positifnya
Kewajiban orang tua kepada putra-putrinya adalah menjaga anaknya kembali kepada fitrahnya yakni untuk menyembah kepada Allah Swt, mendidiknya menjadi anak saleh dan salihah. Dan ketika sudah dewasa, orang tua menikahkannya. Dalam Islam ada keseimbangan peran antara orang tua dan anak. Seorang anak berhak menentukan pilihannya sendiri, namun orangtua juga harus diberi informasi tentang calon pasangannya. Orangtua harus memenuhi pilihan anaknya apabila memenuhi syarat yaitu agamanya baik.
Dalam kondisi tertentu dimana seorang anak belum/ kesulitan mendapatkan jodohnya, maka orang tua harus membantunya. Menjadi energi positif baginya.
Pertama, munculkan niat dan dan keinginan berusaha yang baik pada dirinya, dengan pemahaman yang benar tentang jodoh. Kemudian bersamai setiap ikhtiarnya.
Kedua, jika perlu membantunya dengan perjodohan, lakukan dengan elegan dan sesuai dengan cara yang dia inginkan. Tak sedikit anak yang enggan dijodohkan karena persepsi yang (telanjur) salah tentang perjodohan. Bagi mereka perjodohan berarti pemaksaan ala Siti Nurbaya. Jadi, batasi perjodohan pada perkenalan dan mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai calon pasangan, dimana selanjutnya anak memiliki hak penuh untuk memutuskan ‘ya’ atau ‘tidak’.
Ketiga, tawakal kepada Allah, dan senantiasa memperbaiki amal ibadah untuk membangun kedekatan dengan Allah Swt. Saat kita dekat, maka doa tak akan tertolak. Doa orangtua adalah yang paling diharapkan anak. Menurut Ippho Santosa, dalam buku 7 Keajaiban Rezeki,ibu adalah bidadari pertama(yang kedua adalah istri), yang bisa menjadi ‘sumber’ rezeki karena doanya mampu membuat doa seseorang lebih melangit. Dalam konteks seorang lajang, ibu adalah satu-satunya bidadari, tempatnya menyelaraskan (menyamakan) doa agar lebih melangit dan dikabulkan Allah Swt. Maka, menanyakan apa keinginan atau isi doa-doa anak, kemudian melangitkannya adalah hal terbaik yang bisa dilakukan orangtua.
Berdamailah dengan Keadaan
Jika segenap usaha disertai penyerahan diri secara total kepada Allah Swt telah dilakukan, juga oleh anak, maka menunggu dan tetap berbaik sangka kepada Allah Swt adalah yang terbaik. Sebab, Allah Swt akan mengikuti prasangka hamba-Nya. Harus ada keyakinan bahwa jodoh pasti bertamu.
Barangkali anak kita masih dipercaya Allah untuk memimpin dirinya sendiri, untuk lebih memberi manfaat dan membahagiakan orang-orang di sekitarnya.
Kuatkan hati, bahwa Allah tak pernah ingkar janji. Dan bahwa hasil tidak akan pernah mengkhianati proses. Setiap usaha yang telah dilakukan akan menjadi keistimewaan dan nilai tersendiri di mata Allah yang dapat membuahkan ganjaran pahala.
Berdamai dengan keadaan dan terus berpikir positif, bahwa Allah tak akan menyia-nyiakan sekecil apapun usaha hamba-Nya dalam meraih sesuatu yang mengantarkan pada kebaikan hidup di dunia maupun di akhirat. Termasuk usaha menemukan mantu, membantu anak menemukan pasangan yang akan menggenapkan setengah dinnya melalui sebuah pernikahan barakah. Bukankah hakikat hidup sebenarnya bukanlah untuk selalu bahagia tapi tetap berusaha bahagia apapun kondisi kita? Maka untuk anak kita, katakan: Nak, Jodoh Pasti Bertamu.<Dimuat di Majalah Hadila Edisi Februari 2016. Sumber Foto: hijaz.id>