Hadila.co.id – Pernyataan, sumpah dan janji. Inilah makna kata syahadat yang semestinya kita hayati setiap kali mengucapkan dua kalimat ini. Ketiga makna ini akan melahirkan sebuah komitmen dalam hati yang dinamakan iman. Iman dilustrasikan Allah Swt sebagai sebuah pohon.
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat thoyyibah (laa ilaaha illallah) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat. (QS: Ibrahim: 24-25)
Akar, Batang dan Buah
Para ulama ketika mendefinisikan iman, mereka mengatakan; iman adalah keyakinan dalam hati, pernyataan dengan lisan dan amal dengan anggota badan”.
Sebuah keyakinan selalu bersifat invisible, tak tampak dan tak ada wujud materinya; tak terdengar dan tak terlihat. Bagi sebuah pohon, ia ibarat akar. Tak ada yang melihat dan tak ada yang tahu. Namun perannya amat penting. Dialah penopang tegaknya batang dan pencari makanan bagi pohon itu dan calon buahnya. Selalu demikianlah takdir akar diciptakan.
Inilah akar keimanan yang menancap dalam dada Bilal. Seorang budak hitam yang mulia karena tauhid dan aqidahnya. Meski serangan begitu menyakiti fisik dan meremukkan badannya. Nikmat dan kepuasan batin yang justru ia rasa. Ini pula yang secara kolektif dinikmati lezatnya oleh keluarga Yasir. Bahkan Summaya sang istri berlomba mendahului suami tercinta menjemput ampunan Rabbnya. Menjadi syahidah pertama dalam Islam.
Begitu pula Asiyah, istri Fir’aun. Tak menentu siksa merejam tubuhnya. Tapi justru seuntai senyum ia tunjukkan. Karena istana nan megah telah merindunya di surga. Ia telah menatapnya sebelum tiba ajalnya. Oleh karenanya Allah berkata; “…akarnya teguh”.
Sedangkan pernyataan (statement) semestinya lantang, bertenaga, diucapkan dan tak boleh disembunyikan. Karena wataknya adalah deklaratif. Bahkan kadang provokatif. Hingga jelas siapa beriman dan siapa yang kufur. Bagi sebuah pohon, ia bagaikan batang. Tegak menjulang menantang badai dan angkasa. Meski dari kejauhan semua mata bisa melihatnya; “…cabangnya (menjulang) ke langit”.
Maka Abu Dzar menolak untuk menyembunyikan keimanannya. Ia lantangkan kalimat syahadat yang agung dihadapan pemuka-pemuka Quraisy yang sedang kongkow-kongkow di sekitar Ka’bah. Ia lupakan dan abaikan resiko karena bara keimanan telah membakar relung hatinya. Ia menjelma menjadi Singa, menantang kerasnya rimba, meski akhirnya babak belur karenanya.
Muhasabah, dan Cara agar Terus Mengingat Allah
Tapi hikmah dan pelajarannya teramat jelas. Bangga menjadi seorang muslim. Itulah prinsip yang ingin ia sampaikan dan wariskan kepada generasi setelahnya. Prinsip ini menjadi teramat mahal ditengah sikap inferior (rendah diri dan minder) umat ini yang seringkali dibalut alasan klasik ketawadhu’an. Bagaimana mungkin umat ini bersikap ‘tawadhu’ di hadapan kaum kuffar durjana? Sedangkan Kitab sucinya menegaskan superioritasnya (QS: Ali Imran: 110 & 139 dan Muhammad; 35).
Buah iman adalah buah keimanan. Meskipun semua pohon memiliki manfaat dan mustahil tanpa faidah, tapi kaum beriman tidak mau menjadi seperti pohon tanpa buah. Bahkan Rasulullah Saw menganjurkan kita untuk tidak hanya menjadi pohon yang berbuah, akan tetapi buah yang harum semerbak baunya dan manis rasanya.
Manfaatkan Dunia Sebagai Ladang Ibadah Menuju Surga
Oleh karenanya, hampir tidak bisa kita dapatkan kata iman dalam Al Qur’an kecuali selalu dirangkai dengan kata amal saleh. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (QS: Al Ashr; 1-3).
Rasakanlah getaran ruhiyah dari pesan Asy Syahid Hasan Al Banna; “jadilah kalian seperti pohon, tatkala manusia melemparinya dengan batu, maka ia melempari mereka dengan buah”. Berbuatlah untuk umat dan bangsa ini, meski seringkali sebagian mereka mencaci dan membenci!
Istiqamah dalam Iman
Simaklah kembali pesan Allah dalam QS Al Ashr diatas! Iman dan amal shalih dalam ayat diatas dikaitkan dengan tawaashi (saling menasehati) dalam kebenaran dan kesabaran. Hal ini karena iman dan amal shalih kita tidak akan mampu bertahan kecuali jika kita saling menasehati dalam memegang teguh kebenaran Islam ini dan bersabar dalam ujian kehidupan.
Sehingga dari sinilah kita begitu menyadari tentang pentingnya peran orang lain. Tentang kerjasama dan amal jama’i. Surga Allah Swt tidak akan mampu kita gapai seorang diri. Dan surga tidak akan terasa dahsyat kenikmatannya kecuali kita mengajak sebanyak mungkin manusia. Maka kita pun menangkap pesan lain dari Surat Al Ashr ini yang menggunakan dhamir (kata ganti) dalam bentuk jamak (plural) bukan tunggal (mufrad). Dan setiap kali kita salat pun kita membaca; hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan. Kami, bukan saya. <bersambung>
(Sumber: Majalah Hadila Edisi Juni 2014)