Hadila.co.id — Sebelumnya kita telah mengulas Kandungan Kalimat Syahadat Bagian Pertama. Pembahasan kali ini adalah lanjutan untuk lebih memperjelas hal-hal apa saja yang terkandung dalam syahadatain. Pernyataan, sumpah, dan janji. Inilah makna kata syahadat yang semestinya kita hayati setiap kali mengucapkan dua kalimat ini. Ketiga makna ini akan melahirkan sebuah komitmen dalam hati yang dinamakan iman. Iman dilustrasikan Allah Swt sebagai sebuah pohon;
“Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah membuat perumpamaan kalimat thoyyibah (laa ilaaha illallah) seperti pohon yang baik, akarnya teguh dan cabangnya (menjulang) ke langit,. pohon itu memberikan buahnya pada setiap musim dengan seizin Tuhannya. Allah membuat perumpamaan-perumpamaan itu untuk manusia supaya mereka selalu ingat.” [Q.S. Ibrahim (14): 24-25]
Akar, Batang dan Buah
Para ulama ketika mendefinisikan iman, mereka mengatakan, “Iman adalah keyakinan dalam hati, pernyataan dengan lisan, dan amal dengan anggota badan.”
Sebuah keyakinan selalu bersifat invisible, tak tampak dan tak ada wujud materinya; tak terdengar dan tak terlihat. Bagi sebuah pohon, ia ibarat akar. Tak ada yang melihat dan tak ada yang tahu. Namun, perannya amat penting. Dialah penopang tegaknya batang dan pencari makanan bagi pohon itu dan calon buahnya. Selalu demikianlah takdir akar diciptakan.
Inilah akar keimanan yang menancap dalam dada Bilal. Seorang budak hitam yang mulia karena tauhid dan akidahnya. Meski serangan begitu menyakiti fisik dan meremukkan badannya. Nikmat dan kepuasan batin yang justru dia rasa. Ini pula yang secara kolektif dinikmati lezatnya oleh keluarga Yasir. Bahkan Summaya, sang istri, berlomba mendahului suami tercinta menjemput ampunan Rabb–nya. Menjadi syahidah pertama dalam Islam.
Begitu pula Asiyah, istri Fir’aun. Tak menentu siksa merejam tubuhnya. Namun, justru seuntai senyum dia tunjukkan. Karena istana nan megah telah merindunya di surga. Dia telah menatapnya sebelum tiba ajalnya. Oleh karenanya Allah berkata, “…akarnya teguh.”
Sedangkan pernyataan (statement) semestinya lantang, bertenaga, diucapkan dan tak boleh disembunyikan. Karena wataknya adalah deklaratif. Bahkan kadang provokatif. Hingga jelas siapa beriman dan siapa yang kufur. Bagi sebuah pohon, ia bagaikan batang. Tegak menjulang menantang badai dan angkasa. Meski dari kejauhan semua mata bisa melihatnya; “…cabangnya (menjulang) ke langit.”
Maka Abu Dzar menolak untuk menyembunyikan keimanannya. Dia lantangkan kalimat syahadat yang agung dihadapan pemuka-pemuka Quraisy yang sedang kongko-kongko di sekitar Kakbah. Dia lupakan dan abaikan risiko karena bara keimanan telah membakar relung hatinya. Dia menjelma menjadi Singa, menantang kerasnya rimba, meski akhirnya babak belur karenanya.
Hikmah dan pelajarannya teramat jelas. Bangga menjadi seorang muslim. Itulah prinsip yang ingin dia sampaikan dan wariskan kepada generasi setelahnya. Prinsip ini menjadi teramat mahal di tengah sikap inferior (rendah diri dan minder) umat ini yang sering kali dibalut alasan klasik ke-tawadhu’-an. Bagaimana mungkin umat ini bersikap ‘tawadhu’ di hadapan kaum kuffar durjana? Sedangkan Kitab sucinya menegaskan superioritasnya [Q.S. Ali Imran: 110 & 139 dan Q.S. Muhammad: 35).
Buah iman adalah buah keimanan. Meskipun semua pohon memiliki manfaat dan mustahil tanpa faidah, tetapi kaum beriman tidak mau menjadi seperti pohon tanpa buah. Bahkan Rasulullah Saw menganjurkan kita untuk tidak hanya menjadi pohon yang berbuah, akan tetapi buah yang harum semerbak baunya dan manis rasanya.
Oleh karenanya, hampir tidak bisa kita dapatkan kata iman dalam Alquran kecuali selalu dirangkai dengan kata amal saleh. “Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian, kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasihat menasihati supaya menaati kebenaran dan nasihat menashati supaya menetapi kesabaran.” [Q.S. Al Ashr (103): 1-3).
Rasakanlah getaran ruhiah dari pesan Asy Syahid Hasan Al Banna, “Jadilah kalian seperti pohon, tatkala manusia melemparinya dengan batu, maka ia melempari mereka dengan buah.” Berbuatlah untuk umat dan bangsa ini, meski sering kali sebagian mereka mencaci dan membenci!
Istiqamah dalam Iman
Simaklah kembali pesan Allah dalam Q.S. Al Ashr di atas! Iman dan amal saleh dalam ayat di atas dikaitkan dengan tawaashi (saling menasihati) dalam kebenaran dan kesabaran. Hal ini karena iman dan amal saleh kita tidak akan mampu bertahan kecuali jika kita saling menasihati dalam memegang teguh kebenaran Islam ini dan bersabar dalam ujian kehidupan.
Sehingga dari sinilah kita begitu menyadari tentang pentingnya peran orang lain. Tentang kerja sama dan amal jama’i. Surga Allah Swt tidak akan mampu kita gapai seorang diri. Dan surga tidak akan terasa dahsyat kenikmatannya kecuali kita mengajak sebanyak mungkin manusia. Maka kita pun menangkap pesan lain dari Surah Al Ashr ini yang menggunakan dhamir (kata ganti) dalam bentuk jamak (plural) bukan tunggal (mufrad). Dan setiap kali kita salat pun kita membaca; hanya kepada-Mu kami menyembah dan hanya kepada-Mu kami mohon pertolongan. Kami, bukan saya. Bersambung. [Oleh: Suhari Abu Fatih, Lc., Pegiat Sosial dan Dakwah]
Lanjut ke Kandungan Kalimat Syahadat – Bagian 3