Hadila.co.id — Di dalam membangun keluarga diperlukan sebuah visi (perencanaan) besar yaitu menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Begitulah petikan wawancara Hadila dengan Ustaz Abdul Munthalib, M.Ag, Dai sekaligus guru di MAN 1 Surakarta.
Allah menciptakan manusia saling berpasang-pasangan. Lantas, perlukah keduanya merencanakan kehidupan setelah berpasangan ustaz?
Hidup berpasang-pasangan adalah naluriahnya manusia, hanya saja jika saya gambarkan orang yang belum berumah tangga cenderung memandang pernikahan sebagai gunung. Jika dilihat dari kejauhan terasa indah, tapi setelah didatangi ada yang kecewa, namun ada juga yang puas dan merasakan nikmat.
Seperti halnya gunung, orang yang sudah mengetahui apa yang ada di sana akan memiliki perencanaan yang matang sehingga tahu apa yang harus dilakukan, makanya kepuasan akan didapatkannya. Sedangkan bagi yang tidak paham dan sekadar ikut-ikutan, mereka hanya mendapat capek dan kecewa. Jadi membangun pemahaman terhadap kehidupan dalam rumah tangga adalah yang diperlukan. Pemahaman ini perlu ditanamkan karena dalam Islam sendiri jelas disebutkan bahwa sebuah rumah tangga harus memiliki visi (perencanaan) besar yaitu menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Rumah tangga adalah benteng untuk mewujudkan pribadi yang bertakwa.
Jika kita melihat sejarah, kita akan dapati contoh ini dari Nabi Ibrahim As yang menempatkan anak dan istrinya (Ismail dan Siti Hajar) di tempat gersang yang sangat tidak prospek dari segi sosial maupun ekonomisnya dengan tujuan agar menjadi hamba-hamba yang bertakwa. Belajar dari Nabi Ibrahim tersebut, seharusnya tujuan utama dalam rumah tangga adalah Allah Swt.
Sejak kapan proses perencanaan dalam keluarga ini perlu dibangun ustaz?
Perencanaan ini seharusnya perlu dibangun semenjak sebelum menikah (saat memilih pasangan). Seorang wanita memilih seorang suami yang bisa menjadi imam. Dia (wanita) harus bisa mengukur dirinya, jika dia merasa awam maka perlu mencari suami yang agamanya di atasnya. Dalam Alquran juga telah jelas disebutkan bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi wanita. Jadi wanita harus tahu bahwa sebagai pemimpin suami harus bisa mengarahkan istri. Sedangkan bagi laki-laki, memilih istri jangan hanya sekadar yang cantik dan salihah saja, tapi yang lebih penting adalah yang mau menjadi makmum baginya (menurut).
Pernikahan dibangun dari dua orang yang berbeda. Bagaimana menyatukannya ustaz?
Pertama, leadernya harus kuat. Seorang suami harus mengajak istrinya untuk merencanakan rumah tangganya lalu berkomitmen. Komitmen ini bisa dituliskan atau paling tidak dikomunikasikan. Misal; tentang ke depan anak harus diajari apa, setelah magrib harus bagaimana, sekolahnya harus seperti apa, pergaulan dan berpakaiannya bagaimana, dll. Kedua, suami dan istri harus saling memahami apa yang menjadi visi bersama. Jadi visi ini harus dibangun atas kesepakatan bersama. Ketiga, adanya pembagian peran. Suami dan istri harus saling bekerjasama dan saling membantu dalam menjalankan visi yang telah dibangun oleh keduanya.
Dalam rumah tangga, apakah juga diperlukan perencanaan bagi anak ustaz?
Pendidikan anak ke depan jelas harus direncanakan dan tidak boleh dididik dengan cara mengalir begitu saja. Memang tidak mudah dalam menjalankan perencanaan pendidikan anak, namun setidaknya pendidikan agama haruslah diutamakan.
Orangtua kadang mengalami dilema, anak memiliki bakat di bidang umum tapi dia belum memiliki konsep diri yang benar. Sehingga jika orangtua mengikuti bakat anak kemudian dia masuk pada lingkungan yang tidak mendukung, ini justru berbahaya bagi agamanya. Di sinilah visi tadi diperlukan, apakah kita akan mengikuti bakat anak ataukah tidak? jika mengikuti bakatnya, lantas apa yang harus kita lakukan agar agamanya tidak kepontalan.
Kemudian kita juga rencanakan kapan saat yang tepat untuk melepaskan anak karena jika tidak disiapkan, anak yang sudah remaja (ABG) akan jauh lebih susah dinasihati dan kadang orangtua justru merasa kalah.
Bagaimana jika perencanaannya gagal ustaz?
Dalam surat Al-‘Asr ayat ke 3 Allah Swt berfirman, “Saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.” Di sini perlunya saling mengingatkan antara suami dan istri. Kemudian idealnya, suami istri masuk dalam komunitas tarbiah atau pun majelis taklim yang bisa dijadikan sarana saling mengingatkan. Bukankah dalam taklim kita akan mengaji, mendapatkan ilmu dan nasihat? Makanya taklim ini perlu karena jika selama tiga hari tidak mengaji hati kita bisa saja menjadi lalai.<Rahmawati Eki>