Hadila – Medan pertempuran Yarmuk. Tiga pejuang Muslim terluka parah. Mereka adalah Al Harits putra Hisyam, Ayyasy putra Abu Rabi’ah, dan Ikrimah putra Abu Jahal.
Al Harits meminta air. Dia butuh minum. Air sudah dibawakan kepadanya. Baru saja akan minum, dia melihat Ikrimah memperhatikannya. Kondisinya tak berbeda dengan dirinya. Sama-sama kritis. “Berikan kepada Ikrimah!” pinta Al Harits. Dia membatalkan keinginan untuk meneguknya.
Ketika air sudah sampai kepada Ikrimah, dia tahu Ayyasy menengok kepadanya. Kondisi Ayyasy juga kritis. “Berikan kepada Ayyasy!” ujar Ikrimah. Persis seperti apa yang dilakukan Al Harits untuknya. Dia pun tidak minum.
Saat air sudah dibawa mendekat kepada Ayyasy, dia telah mengembuskan napas terakhir sebelum sempat membasahi kerongkongannya.
Ketika air dibawa kembali kepada Al Harits dan Ikrimah, mereka berdua pun telah meninggal dunia. Ya, mereka sama-sama belum sempat mengecap tawarnya air, tetapi kematian telah lebih dulu merenggut nyawa.
***
Fragmen ini diceritakan oleh Ath Thabrani dalam Al Mu’jam Al Kabīr; Al Hakim dalam Al Mustadrak ‘Alā Ash Shahīhain; Abu Nu’aim dalam Ma’rifat Ash Shahābah; dan Al Baihaqi dalam Syu’ab Al Īmān. Perang Yarmuk merupakan perang yang terjadi antara kaum muslimin dan Imperium Bizantium, Romawi. Ia pecah pada tahun 15 H.
Disclaimer. Di antara ulama ada yang menilai bahwa riwayat kisah ini berstatus lemah.
Membuang ego sendiri dan mendahulukan orang lain. Inilah pesan moral yang tersuguh dalam fragmen ini. Pesan ini sangat terang benderang karena tersaji dalam setting ruang, waktu, dan peristiwa yang tidak biasa-biasa saja. Ia terjadi di arena pertempuran yang banyak tubuh-tubuh penuh luka dan jasad-jasad meregang nyawa.
Orang memiliki kelebihan harta lalu memberikan bantuan kepada orang lain dengan kelebihan hartanya tersebut. Ini hal biasa. Orang yang membantu orang lain dengan sebagian (besar) hartanya. Ini lebih dari biasa.
Apa yang terjadi dalam fragmen ini tidak sekadar lebih dari biasa, tetapi benar-benar luar biasa. Extraordinary. Bagaimana tidak, baik Al Harits, Ikrimah, maupun Ayyasy sama-sama sedang dalam kondisi kritis. Mereka semua perlu air minum. Kondisinya sangat mendesak. Namun, ketika air sudah ada di depan mata, masing-masing mendahulukan yang lain. Meskipun pada akhirnya mereka semua meninggal dunia.
Kisah ini semakin menarik. Pasalnya, mereka bukanlah saudara kandung dan tidak memiliki hubungan relasi orang tua dan anak. Ini terkonfirmasi dari nama mereka dan nama ayah mereka. Kalau seandainya pengorbanan ini terjadi di antara sesama saudara atau antara ayah dan anak, tentu orang akan menganggapnya sebagai bentuk kewajaran belaka. Namun, ini terjadi dari dan untuk orang lain yang bukan sanak kadang.
Secara teori, pengorbanan dapat terjadi bila ada jalinan ikatan dan rasa cinta. Faktanya, mereka bertiga memang bukan saudara kandung. Hanya saja, Allah Swt telah menjalin kalbu mereka dalam persaudaraan iman. Maha Benar Dia yang berfirman, “Dia (Allah) mempersatukan kalbu mereka (orang yang beriman). Seandainya engkau (Nabi Muhammad) menginfakkan semua (kekayaan) yang berada di bumi, niscaya engkau tidak dapat mempersatukan kalbu mereka, tetapi Allah telah mempersatukan kalbu mereka…” [Q.S. Al Anfal (8): 63]
Jalinan persaudaraan iman. Ya, inilah rahasianya. Ia sangat kuat. Semangatnya melebihi ikatan persaudaraan sedarah. Ia menghimpun orang-orang beriman dalam payung senasib sepenanggungan. Ibarat satu jasad. Bila ada yang terluka, yang lain ikut meradang. Rasulullah Saw bersabda sebagaimana dituturkan oleh Bukhari dan Muslim, “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mengasihi, mencintai, dan menyayangi bagaikan satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh mengadu sakit, maka seluruh tubuh akan ikut terjaga dan panas.”
Persaudaraan ini pula yang telah mendorong kaum Ansar mengutamakan kaum Muhajirin daripada diri mereka sendiri. Mereka memberikan bantuan dan pertolongan, meskipun mereka sendiri sebenarnya juga membutuhkan. Allah Swt berfirman, “…Mereka tidak mendapatkan keinginan di dalam hatinya terhadap apa yang diberikan (kepada Muhajirin). Mereka mengutamakan (Muhajirin) daripada dirinya sendiri meskipun mempunyai keperluan yang mendesak…” [Q.S. Al Hasyr (59): 9]
Apa kabar kalbu? Di banyak belahan bumi tak sedikit saudara Muslim terluka. Masih adakah rasa senasib sepenanggungan? Wallaahu a’lam. <>
Penulis: Tamim Aziz, B.Sh., M.P.I. (Wakil Ketua Yayasan Ulin Nuha Slawi – Tegal)
Leave a Comment
Your email address will not be published. Required fields are marked with *