Oleh Tajuddin Pogo (Wakil Ketua Departemen Kajian dan Riset IKADI)
Ujian Allah bisa berupa kebaikan dan bisa pula keburukan. Kedua bentuk ujian itu telah ditetapkan dan pasti dibebankan kepada setiap hamba. Ujian kebaikan ada yang berwujud kenikmatan dan perintah, sementara ujian keburukan ada yang berupa musibah dan larangan. Allah Swt berfirman, “Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya).” (Q.S. Al-Anbiya: 35) Ibnu ‘Abbas berpendapat, makna ayat tersebut adalah Kami akan menguji kalian dengan kesengsaraan dan kesejahteraan, sehat dan sakit, kekayaan dan kemiskinan, haram dan halal, ketaatan dan kemaksiatan, serta hidayah dan kesesatan; agar Kami melihat bagaimana rasa syukur dan sabar kalian. (Lihat Tafsir Al Muyassar).
Ujian kebaikan dan keburukan yang membuat orang lebih dekat kepada Allah, semakin mengenal-Nya, dan mengobarkan semangat beramal saleh, menjadi pertanda kelulusan dan kelayakan mendapatkan anugerah kehormatan dan amanat yang lebih tinggi. Nabi Ibrahim As, salah satu teladannya. Banyak sekali ujian yang telah beliau sempurnakan dan lulus dengan istimewa, sehingga layak mendapat gelar imam. Allah mengangkatnya sebagai pemimpin dan teladan bagi seluruh manusia. (Q.S Al-Baqarah: 124)
Kepemimpinan yang dianugerahkan Allah kepada Nabi Ibrahim As karena lulus dalam ujian perintah dan larangan. Sejatinya perintah mengandung segala kebaikan dunia dan akhirat. Sebaliknya larangan pasti berakibat keburukan kalau seseorang terjerumus ke dalamnya. Nabi Ibrahim melaksanakan ujian tersebut dengan sempurna. Bahkan atas kesuksesan lulus dalam ujian tersebut, permintaan Nabi Ibrahim As pun dikabulkan, yaitu estafet kepemimpinan turun kepada anak keturunannya, terutama kepada Nabi Muhammad Saw yang merupakan keturunan Nabi Ismail bin Ibrahim As.
Namun demikian, janji Allah memberikan kepemimpinan tersebut tidak berlaku bagi keturunannya yang berbuat zalim. Apalagi terhadap orang yang gagal dalam ujian dan telah dihukum atas kezalimannya, tapi tetap tidak sadar dan bertobat.
Berdasarkan hal itu, para pejuang agama Allah telah menyadari bahwa ujian adalah media pembuktian atas kelayakan mendapatkan kehormatan dan kemenangan. Allah telah menguji para pejuang agama-Nya sejak dulu. Dalam Al-Qur’an dimuat kisah abadi tentang ujian Allah pada pasukan Thalut dimana salah satu prajurit istimewanya Nabi Daud As (Q.S. Al Baqarah: 249-250).
Hanya prajurit yang lulus dalam ujian Allah, yang memiliki jiwa tegar, kokoh, tahan, sabar, dan memiliki kelayakan untuk menang dan jaya mengalahkan musuh. Merekalah yang menundukkan pasukan Jalut yang lebih banyak dan bersenjata lengkap.
Kesabaran, daya tahan, keyakinan dan ketakwaan, adalah faktor-faktor yang menjamin kemenangan dan anugerah jabatan kepemimpinan ( Q.S. As-Sajdah: 24). Oleh karena itu, sang penakluk Muhammad al Fatih, menguji daya tahan pasukannya dengan puasa sunah dan Salat Tahajud. Pasukan yang lulus disertakan dalam penaklukan Kostantinopel, yang dikenal dengan Istanbul di Turkey saat ini.
Khalifah Umar Ra ketika diminta saran dan masukan oleh panglima Abu Ubaidah Ra dalam rangka penaklukan Damaskus karena medan yang sulit dan benteng yang kokoh, cukup menuliskan balasan dengan kutipan ayat; “Hai orang-orang yang beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap siaga (di perbatasan negerimu) dan bertakwalah kepada Allah, supaya kamu beruntung (menang).” (Q.S. Ali ‘Imran: 200)
Orang-orang yang gagal dalam ujian, kemudian diberi peringatan agar mengevaluasi diri, tetapi tetap bebal dan tidak berubah menjadi lebih baik, maka hukuman Allah akan menimpa mereka. Bila mereka tetap tidak mengadu kepada Allah, bertobat dan memohon ampunan-Nya, maka mereka telah berhati keras dan tertipu dengan fatamorgana kesenangan dunia dan hawa nafsu. Dalam Al-Qur’an ditegaskan; “Tetapi mengapa mereka tidak memohon (kepada Allah) dengan merendahan hati ketika siksaan Kami datang menimpa mereka? Bahkan hati mereka telah menjadi keras dan setan pun menjadikan terasa indah bagi mereka apa yang selalu mereka kerjaka.” (Q.S. Al-An’am: 43)
Agar terhindar dari hati yang keras, orang harus selalu menjaga kepekaannya dengan merasa khawatir setiap kali melihat fenomena alam yang pernah digunakan Allah untuk menghukum umat terdahulu. Pada junjungan kita, Nabi Muhammad Saw terdapat contoh praktisnya. Setiap kali melihat awan atau angin, Nabi Saw merasa khawatir. Hal itu membuat bunda Aisyah penasaran.
Aisyah Ra bertanya, “Wahai Rasulullah! Apabila orang-orang melihat awan, mereka sangat bahagia berharap akan turun hujan. Namun saya heran kepada engkau setiap kali melihatnya tampak ada kekhawatiran di wajahmu?” Nabi saw menjawab, “Wahai Aisyah! Saya tidak merasa aman. Saya khawatir jangan-jangan ia mengandung siksaan. Telah diazab suatu kaum dengan angin dan suatu kaum ketika melihat azab (awan), mereka malah mengatakan, ‘Ini adalah awan yang mengandung hujan, yang akan menghujani kami (padahal awan itu akan mendatangkan siksa).” (H.R. Bukhari, no. 4454)
“Maka ketika mereka melihat azab itu berupa awan yang menuju ke lembah-lembah mereka, mereka berkata, Inilah awan yang akan menurunkan hujan kepada kita. (Bukan!) Tetapi itulah azab yang kamu minta agar disegerakan datangnya, (yaitu) angin yang mengandung azab yang pedih.” (Q.S. Al-Ahqaf: 24)
Dalam sejarah Islam, kita bisa bercermin agar bisa bangkit dan kembali berjaya setelah mengalami kegagalan dalam ujian Allah. Para sahabat mendapat pelajaran sangat berharga ketika diuji pada perang Uhud dan beberapa syuhada gugur termasuk sayyidus syuhada’ Hamzah Ra. Keindahan harta rampasan perang dan kesenangan dunia sempat menyilaukan sebagian pasukan pemanah di atas bukit Rumat. Mereka gagal dalam ujian komando untuk tetap bertahan pada posisi mereka di atas bukit dan turun berebutan rampasan perang. “…Sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia…”. (Q.S. Ali Imran : 152)
Berhati-hatilah terhadap konsekuensi kegagalan dalam menempuh ujian Allah dalam segala dimensi dan indikatornya agar terhindar dari siksaan. Semoga. Aamiin. <>