Hadila.co.id — Sebulan yang lalu, kita diwajibkan berpuasa, menggembleng mentalitas kita dalam menjaga segala hal. Tidak hanya makan dan minum, tetapi tangan, kaki, lisan, otak, dan hati diajak untuk beribadah kepada Allah Swt.
Salah satu yang harus dijaga adalah lisan. Manusia memiliki sembilan lubang pada dirinya. Kalau dalam istilah Jawa dinamakan Babahan Howo Songo, yang terdiri dari mata, hidung, telinga, mulut, pori-pori kulit, anus dan kemaluan. Semua yang dikeluarkan oleh lubang tadi dalam bentuk yang buruk karena memang diciptakan untuk saluran pembuangan. Namun, ada satu lubang yang bisa dikelola untuk diarahkan kepada hal yang baik, yaitu lisan.
Memang dari lisan atau mulut ini juga keluar dahak dan ludah yang dianggap kotor, tetapi ada satu lagi yang keluar dari sana, yaitu perkataan atau ucapan. Perkataan inilah yang bisa dikelola untuk berkata baik atau berkata buruk.
Ada sebuah adagium menyatakan, salamatul insan fi hifzhil lisan, selamatnya manusia tergantung pada lisannya. Dewasa ini, dengan berkembangnya teknologi dan kemajuan peradaban, seseorang dalam menyatakan suatu pendapat tidak lagi menggunakan lisan, tetapi bergeser menggunakan jari. Adanya internet dan ponsel pintar membuat manusia semakin dimanjakan dalam berinteraksi dengan orang lain. Yang awalnya menyampaikan sesuatu dengan lisan sekarang cukup dengan menyentuh layar ponsel. Tinggal klik.
Ibarat pisau, media sosial bisa bermanfaat, tetapi juga bisa memberikan dampak yang buruk. Rasulullah Saw pernah bersabda, yang artinya, “Iman seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga hatinya istikamah. Dan hati seorang hamba tidak akan istikamah, sehingga lisannya istikamah. Dan orang yang tetangganya tidak aman dari kejahatan-kejahatannya, ia tidak akan masuk surga.” [H.R. Ahmad]
Sebagaimana awal mula ponsel dan media sosial diciptakan untuk berinteraksi, memberi dan mencari informasi. Jika dimanfaatkan secara bijak, keberadaan ponsel akan memberikan dampak positif yang sangat besar. Namun, jika seseorang justru terlena dengan kemudahan yang ditawarkan teknologi tersebut, dan menggunakannya secara tak bijak, maka dampak buruknya juga tidak bisa dianggap remeh. Selama ini, untuk media sosial ada keburukan yang telah ditimbulkan. Pertama, bahwa media sosial (medsos) ini menjadi sarana penyimpangan. Wujud dari penyimpangan di medsos ini berupa tersedianya konten-konten yang mengarah kepada kebencian, kekerasan, radikalisme, dan terorisme yang dapat mengancam kemanusiaan. Kedua, adanya kejahatan atau cybercrime seperti adanya penculikan, sms minta pulsa, dan sebagainya. Ketiga adalah bahwa media sosial ini menjadi sarana yang memberikan konten pornografi dan sebagainya, yang tentu sangat membahayakan generasi muda kita saat ini. Oleh sebab itu, orangtua dituntut untuk mengawasi anak-anaknya dalam menggunakan ponsel.
Memasuki Tren Baru
Indonesia telah memasukin tren perubahan baru, dari lisan menjadi jari. Dahulu mungkin orang bertengkar langsung berhadap-hadapan. Namun saat ini, bertengkar cukup dengan medsos, setelah bertemu langsung sudah tidak bertegur sapa. Baik tua maupun muda, mereka sama-sama telah menjadi penghuni dari dunia yang telah bertranformasi dari lisan ke jari. Mereka menghadapi kerentangan yang sama.
Contoh kecil, di media sosial, belum ada kepastiaan apakah informasi yang diterima ini hoax atau real. Namun karena memiliki kecocokan pemahaman, maka sesegera mungkin informasi tersebut disebarluaskan. Padahal, apa yang kita share di medsos itu akan abadi, bahkan kalau sudah viral, tidak bisa dihapus dan terus menerus menjadi konsumsi publik.
Usai Ramadan, kita memasuki Syawal, yang dikenal sebagai bulan peningkatan dalam hal kebaikan. Termasuk bagaimana manusia menjadi lebih cerdas dalam menggunakan media sosial. Yang bisa kita lakukan saat ini adalah jangan mudah percaya terhadap hal ihwal yang tersebar di medsos. Utamakan tabayun, klarifikasi informasi yang kita terima. Yakni dengan membandingkan informasi-informasi lain.
Rasulullah Saw pun pernah bersabda, “Barang siapa beriman kepada Allah dan Hari Akhir, hendaklah dia berkata yang baik atau diam.”
Jika tidak bisa berkata dan membagikan informasi yang baik, maka, alangkah lebih baiknya kita diam. Jangan sampai ketidaktahuan kita menjadi sebuah ketololan yang dikonsumsi publik sehingga terjadi fitnah.
Tentu kita yakin, bahwa di akhirat kelak, segala amal perbuatan kita selama hidup di dunia ini akan dihisab dan dimintai pertanggungjawaban. Kita bisa memilih, mana yang baik, dan mana yang buruk untuk kita kerjakan dan hindari. <>
Sumber: diolah dari islami.co