Kapan kita mulai bisa mengajarkan membaca kepada anak? Para ahli menyebutkan, usia 2 tahun dalam bentuk pengenalan kegiatan pra-membaca. Tetapi Jim Trelease menunjukkan dalam bukunya yang bertajuk The Read Aloud Handbook bahwa mengenalkan membaca kepada anak dapat dimulai semenjak anak sudah mampu mengikuti gerakan kita dengan penglihatannya. Ini sekitar usia 4 bulan.
Mengenalkan kegiatan pra-membaca itu sangat penting, tapi itu saja sangat tidak cukup. Tumbuhnya minat baca yang kuat juga tidak cukup. Minat baca yang kuat tidak sama dengan minat belajar. Keduanya berbeda. Tetapi jika minat membaca terarah dengan baik, lebih mudah menumbuhkan minat belajar.
Apa yang Perlu Kita Ajarkan?
Paling mudah adalah mengajarkan keterampilan. Lihatlah HP dan smartphone, betapa mudahnya orang menggunakan keduanya. Tak peduli apa jenjang pendidikannya.
Makin kompleks sebuah keterampilan, makin sulit menumbuhkannya. Tetapi hal ini lebih mudah dibanding menumbuhkan minat dan kecintaan. Pun dengan membaca. Betapa banyak anak yang sudah terampil membaca sebelum masuk SD, tapi saat kelas 1 atau 4, minat bacanya ambruk dan gairah belajarnya runtuh.
Orang yang berminat akan berusaha untuk menguasai, yang mau akan berusaha untuk mampu, tetapi yang mampu belum tentu mau. Bahkan besarnya kemampuan yang tidak disertai kemauan, justru menjadikan anak lebih mudah mengalami kejenuhan.
Maka, yang paling pokok diajarkan pada anak usia dini adalah mengakrabkan, menjadikan mereka suka, dan menanamkan bahwa membaca itu sangat penting dan penuh manfaat. jadi bukan sekadar kemampuan mengeja atau menunjukkan nama-nama benda dalam buku.
Gizi buku juga penting dibanding bentuknya. Kita kadang begitu asyik memilihkan buku yang bagus dan berbentuk lucu, tetapi lupa pada isinya. Ingat, kita mengajari anak membaca bukan semata agar mereka terampil tetapi juga menjadikannya sebagai jalan untuk meraup ilmu dan mengenal Allah Swt. Bukankah Allah Swt mengajarkan kepada manusia dengan jalan membaca?
Apa Media Pembelajaran yang Tepat?
Menurut berbagai literatur yang pernah saya pelajari, sarana terbaik untuk mengenalkan membaca kepada anak adalah buku bergambar dengan sedikit kata atau WPB (Wordless Picture Book). Buku ini baik asalkan isinya bergizi. Kami pun menggunakan media semacam itu untuk menumbuhkan minat baca anak-anak, terutama yang awal.
Selanjutnya, tak harus buku WPB. Buku bacaan untuk orang dewasa pun asalkan isinya penuh gizi, semisal 10 Sahabat Nabi Dijamin Masuk Surga, sangat baik untuk kita bacakan untuk merangsang anak suka membaca. Mereka paham? Belum. Tetapi itu sangat bermanfaat bagi mereka tatkala semakin bertambah usia. Bacaan itu menjadi semacam cetak biru yang memengaruhi diri anak di masa-masa berikutnya.
Hal penting yang perlu diperhatikan adalah antusiasme kita saat mengajarkan dan membacakan, daripada media yang dipergunakan. Antusiasme kita akan mudah merangsang anak tertarik membaca. Kerapkali yang menjadi masalah bukanlah tenaga kita, bukan juga minat mereka, tetapi kebosanan kita saat diminta membacakan buku yang sama persis 5 kali berturut-turut atau bahkan lebih.
TV dan Online Game: Pembunuh Waktu yang Terhormat
Tidak ada media yang lebih efektif untuk menghancurkan minat baca melebihi kegemaran nonton TV untuk anak-anak. Bukan soal tayangannya yang buruk, tetapi efek pendangkalan berpikir (Shallowing effect) akibat menonton TV. Shallowing effect ini lebih parah lagi saat anak sudah larut dengan game online dan internet. Mereka menghabiskan waktu dan perhatian yang sangat besar dengan bermain game online. Ini belum soal akibat lanjutan berupa ketidak mampuan memusatkan perhatian, obsesi terhadap kekerasan, efek pornografis maupun rangsang kejahatan lain yang merupakan efek ikutan semisal penipuan.
Itu semua memang hanya akan terjadi pada anak yang “sudah cukup umur”, semisal SD kelas 4 atau SLTP. Bukan balita. Tetapi tidak sedikit balita yang mengalami autism sosial (sebenarnya tidak autis tapi seperti autis) karena terlalu dibiarkan asyik dengan gadget. Apakah gadget buruk bagi anak? Tidak, jika diberikan pada saat yang tepat.
Setiap yang baik dapat disalahgunakan untuk keburukan, baik yang tampak secara lahir maupun tersembunyi. Itu sebabnya mendidik niat sangat penting, termasuk kepada anak. Ini berarti, jika yang nyata-nyata baik saja dapat disalahgunakan, apalagi yang netral. Perlu bekal agar anak-anak dapat mempergunakan teknologi yang netral tersebut untuk kebaikan. Bukan sebaliknya.<Dimuat di Majalah Hadila Edisi Agustus 2015>