Hadila.co.id — Ada data menarik yang saya dapatkan dari sebuah media massa bahwa pemilih pemula pada pileg dan Pilpres tahun ini (2014) lebih dari 40 juta. Jumlah yang sangat besar ini tentunya memunculkan harapan sekaligus kekhawatiran. Harapan untuk mendapatkan suara mereka bagi para calon legislatif dan kekhawatiran dari para tokoh masyarakat dan orangtua tentang kemampuan mereka membuat pilihan yang baik.
Sebagai seorang pendidik, saya agak heran mengapa kekhawatiran ini baru muncul menjelang Pemilu ini, padahal dalam kehidupan sehari-hari para anak muda tersebut sudah dituntut untuk membuat pilihan penting, tanpa mereka mendapat bimbingan yang memadai bagaimana cara membuat pilihan yang baik.
Mereka harus memilih teman yang baik, memilih baju, memilih jenis potongan rambut, memilih tokoh idola dan pilihan-pilihan yang lainnya. Mari kita mencoba melihat fakta di masyarakat, perilaku para orangtua di dalam mendidik anak sekaligus belajar bagaimana membimbing anak untuk membuat pilihan yang baik.
Pertama, sering kali kita melihat para orangtua kurang memberi kesempatan bagi anak untuk memilih. Bahkan pada hal-hal yang sangat sederhana dan tidak prinsip. Semua telah diputuskan dan dipilihkan orangtua. Jenis sepatu yang dipakai oleh anak, susu yang diminum, sekolah tempat belajar anak, dan lain-lain. Padahal setiap pilihan-pilihan yang dibuat oleh anak adalah cara mereka belajar untuk memilih.
Pada masalah-masalah prinsip mungkin kita tidak memberi kesempatan tersebut, tetapi pada hal-hal yang kurang prinsip seperti jenis sepatu, pakaian yang dikenakan dan tas yang dibawa ke sekolah, kita dapat memberi kesempatan bagi mereka untuk memilih. Ada beberapa orangtua yang bersikap lebih bijak, melakukan modifikasi pilihan dengan memilihkan 4 alternatif sekolah, dan anak diminta untuk memilih satu di antara sekolah alternatif pilihan orangtua
Kedua, cara komunikasi orangtua yang serba melarang dan memerintah, mendorong anak untuk tidak mempunyai pendapat dan ide sendiri. Ketiadaan ide dan pendapat dari anak akan menghambat bagi mereka untuk memilih. Seperti komunikasi orang tua kepada anaknya, “Jangan bermain dengan temanmu yang itu… Segera kerjakan PRmu…”
Mari kita belajar dari Nabi Ibrahim As. ketika diperintah oleh Allah untuk menyembelih putranya, “Wahai anakku, sesungguhnya aku bermimpi di dalam mimpiku aku menyembelihmu, bagaimana pendapatmu?”
Ketiga, beberapa orangtua memang sudah mulai memberi kesempatan bagi anaknya untuk memilih, tetapi mereka tidak membimbing anak untuk menanyakan alasan mengapa dia memilih. Dengan menyampaikan alasan dari pemilihan maka kita mendidik anak bahwa setiap yang mereka pilih harus berdasarkan dengan alasan yang logis. Sehingga dikemudian hari dia akan terbiasa untuk membuat pilihan-pilihan berdasarkan alasan dan bukan berdasarkan kesenangan dan pandangan sesaat
Keempat, kurangnya contoh dari orangtua tentang memilih yang baik seperti seorang ibu yang belanja di supermarket bersama anaknya dan ingin membeli sabun cuci. Ada beberapa merek sabun cuci pada supermarket tersebut, dan ibu itu akhirnya memilih satu merek tertentu karena kebetulan sabun tersebut menawarkan satu bonus berupa piring atau alat dapur lainnya.
Dengan cara memilih ibu di atas yang berdasarkan bonus bukan berdasarkan substansi dan kualitas dari sabun cuci yang dia butuhkan, maka anak akan belajar bahwa dia pun akan memilih merek pasta gigi mereka tidak berdasarkan kualitasnya, tetapi berdasarkan hadiah apa yang ditawarkan oleh merek pasta gigi tertentu.
Hidup adalah pilihan, saat kita membimbing anak kita untuk membuat pilihan yang baik, maka kita telah membimbing anak kita untuk hidup dengan baik. [Oleh: Miftahul Jinan, Direktur Griya Parenting Surabaya. Sumber: Hadila Edisi Mei 2014]