Hadila.co.id – Dunia memang menyenangkan sehingga seringkali melenakan. Ibarat penyelam pencari mutiara, dengan tabung oksigennya. Bagi penyelam yang sadar bahwa tujuannya adalah mencari kerang mutiara, ia akan sangat berhati-hati, memperhitungkan betul berapa lama ia harus menyelam, apa saja yang harus dilakukan, kapan ia harus kembali ke permukaan, karena tabung oksigennya terbatas oleh waktu. Namun banyak juga penyelam, karena terlena akan keindahan pemandangan bawah laut yang menakjubkan, lupa hingga alat penunjuk oksigen menunjukkan alarm hampir habis. Akhirnya naiklah ia ke permukaan tanpa membawa apa-apa.
Begitu gambaran kehidupan manusia di dunia yang dibatasi waktu yaitu umur. Kenikmatan dunia membuat manusia lupa pada batasan itu. Lupa bahwa hidup hanya sebentar saja. Hiruk pikuk kebendaan (hedonisme) bahkan telah menjadi tujuan hidup sebagian manusia. Seluruh waktu, tenaga, pikiran habis tercurah demi memperoleh kebahagiaan dunia. Ukuran kesuksesan tiada lain adalah bila telah memperoleh harta, kedudukan, dan kesenangan. Meski jalan haram terkadang ditempuh.
Orang-orang seperti ini yang disebut Allah dalam firman-Nya: Itulah orang-orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat, maka tidak akan diringankan siksa mereka dan mereka tidak akan ditolong. [Al-Baqarah 2: 86].
Manusia lupa pada tujuan apa ia diciptakan. Juga lupa bahwa setelah rumah yang dihuni di dunia, ia akan menghuni rumah masa depannya yaitu kuburan dengan kehidupan setelahnya. Menghias indah rumah dunia, namun mengabaikan masa-masa di rumah masa depan. Padahal telah cukup jelas bagi kita gambaran mengenai kematian, alam kubur, dan alam akhirat bagi kita.
“Sesungguhnya kuburan merupakan tempat persinggahan pertama dari tempat-tempat persinggahan akhirat. Jika seseorang selamat dari tempat persinggahan ini, maka setelahnya lebih mudah. Jika ia tidak selamat dari tempat persinggahan ini, maka setelahnya lebih berat.” (HR. Tirmidzi).
Karena hal tersebut manusia harus senantiasa diingatkan agar, lupa tidak kemudian menjadi lalai. Salah satu pengingat yaitu dengan senantiasa menengok rumah masa depan kita kelak. Dengan kata lain, mengingat kematian yang pasti akan menghampiri kita. Sebagaimana Rasulullah Swt Bersabda: “Perbanyaklah mengingat sesuatu yang melenyapkan semua kelezatan, yaitu kematian!” (HR. Tirmidzi).
Berziarah ke kuburan, menyimak kematian orang-orang disekitar kita (melihat jenazah, menyaksikan sakaratul maut, mengiringi jenazah, mensalati jenazah), menyimak kemudian merenungi fenomena alam, membaca ayat-ayat Al Qur’an yang mengingatkan kematian, membesuk orang sakit, bisa menjadi cara kita mengingat kematian, kemudian mengambil pelajaran darinya. Sehingga tercipta referensi pilihan dalam pikiran kita; ingin seperti apakah kematian kita kelak, menempati rumah masa depan yang seperti apa, lapang ataukah sempit, gelap ataukah terang, dan lain sebagainya.
Sebuah Nasehat Berharga
Mengingat kematian adalah sarana luar biasa untuk mengeluarkan kita dari kebiasaan dan perilaku lalai terhadap waktu di dunia, serta menjadi lebih peka akan masa kini. Ketika seorang manusia melalaikan waktu hidupnya di dunia dengan hal-hal yang tidak berguna dan bahkan berbuat dosa, pada hakekatnya ia sedang menggiring dirinya pada jurang kerugian. Karena tidak ada satu detik pun waktu terlewat melainkan ajal kian mendekat.
Pentingnya mengingat kematian ini disabdakan Rasulullah Saw: “kafaa bil mauti wa idzhon.” Cukuplah kematian itu sebagai nasehat, yang memberikan banyak pelajaran berharga dalam membingkai hidup dan mengawasi alurnya agar tidak menyimpang. Diantara nasehat-nasehat tersebut yaitu:
Pertama, kematian mengingatkan bahwa waktu sangat berharga. Tak ada sesuatu pun yang mampu mengingatkan betapa berharganya nilai waktu selain kematian. Tak seorang pun tahu kapan, bagaimana, dan dimana kematian akan menjemputnya. Juga karena setelah kematian, amal apapun tidak mungkin lagi kita lakukan.
Kedua, kematian mengingatkan bahwa kita bukan siapa-siapa. Kematian menghapus peran-peran kita di dunia. Apapun dan siapapun peran yang telah dimainkan, ketika sutradara kehidupan mengatakan ‘selesai’, usai sudah permainan. Peran kaya yang tadinya mungkin kita banggakan, atau peran miskin yang kita tangisi berakhir. Jadi naif kalau ada manusia berbangga seolah akan menyandang peran dunia selamanya. Kita bukan siapa-siapa lagi, kecuali hanya hamba Allah.
Ketiga, Kematian mengingatkan bahwa kita tak memiliki apa-apa. Kelak tak ada satu benda pun yang akan ikut masuk rumah masa depan yang hanya cukup untuk kita saja, kecuali kain kafan. Sungguh jika pun ada, tak akan pernah ada manfaatnya. Kita terlahir tanpa membawa apa-apa, begitu pun saat ‘pulang’.
Keempat, kematian mengingatkan bahwa hidup sementara. Hidup tak jauh dari siklus: awal, berkembang, dan kemudian berakhir. Ketika sapaan kematian mulai datang berupa rambut yang beruban, tenaga yang kian berkurang, wajah yang makin keriput, seringnya kita baru sadar pada pemisah kenikmatan yang bernama kematian.
Kelima, kematian mengingatkan bahwa hidup begitu berharga. Dengan memaknai kematian, berarti kita sedang menghargai arti kehidupan. Menghargai arti kehidupan berarti cerdas mengisi kehidupan dengan hal-hal yang bermanfaat dan berharga bagi kehidupan akhiratnya. Hidup dengan spirit kematian. Mungkin, inilah maksud ungkapan Imam Ghazali ketika menafsirkan surah Al-Qashash ayat 77, “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) dunia,” dengan menyebut bahwa dunia adalah ladang buat akhirat.
Sungguh kita pantas bersyukur, karena Allah selipkan nasehat berharga itu untuk mendampingi kita menjalani kehidupan, memunculkannya diantara jenak-jenak hidup kita, membuat jantung berdegup membentuk takut (khouf). Takut pada kesiapan kita atas janji pertemuan dengan-Nya. Bukan takut wahn, takutnya para pencinta dunia akan kematian, sebagaimana ungkapan Abu Dzarr: “Karena engkau memakmurkan duniamu dan menghancurkan akhiratmu. Bagaimana mungkin engkau tidak takut berpindah dari kemakmuran menuju kehancuran?”
Menengok rumah masa depan membuat hati condong pada akhirat sehingga berbuah ketaatan, mendorong kita untuk bersiap menghadapi kematian sebelum datangnya, memendekkan angan untuk berlama tinggal di dunia dalam kelalalaian, menjauhkan diri dari cinta dunia, membuat kita qana’ah dengan yang sedikit, ridha dengan rezeki dari Allah, meringankan kita dalam menghadapi ujian dunia, mencegah ketamakan terhadap nikmat dunia, mendorong untuk bertaubat atas dosa masa lalu, melembutkan hati, memberi semangat untuk mendalami agama, membuahkan sikap rendah hati, dan mendorong perbaikan diri.
Kehidupan Kedua
Hidup disebut perjalanan karena memiliki awalan, proses dan tujuan. Sebagai seorang muslim, kita yakin bahwa tidak ada akhir, tidak ada tujuan hidup selain kehidupan di kampung akhirat dalam keridhoan Allah Swt. Sehingga kehidupan dunia hanya episode dari mempersiapkan diri untuk mencapai tujuan. Bahkan kematian pun sejatinya bukan akhir, melainkan bagian masa atau tempat menuju kehidupan tersebut.
Kematian adalah gerbang menuju kehidupan kedua seorang manusia, yaitu kehidupan akhirat yang kekal. Tidak ada rumah bagi seseorang untuk ditempati setelah kematian, kecuali rumah yang ia bangun sebelum matinya. Jika ia membangun rumahnya (tatkala masih hidup) dengan amalan kebaikan maka rumah yang akan ditempatinya setelah matipun akan baik pula. “Orang cerdas adalah mereka yang dapat menahan hawa nafsunya dan beramal untuk kehidupan setelah kematian” begitu Rasulullah Saw berpesan.
Oleh karena itu, agar kita tidak menyesal kemudian dan menjemput kematian dengan khusnul khotimah, maka beberapa hal harus kita lakukan. Pertama: menjadikan hidup sebagai ibadah. Kedua: menjadikan hidup sebagai tempat ujian, bersyukur dalam kemudahan dan ketaatan, bersabar dalam kesulitan, bertaubat dan beristighfar tatkala terjerumus dalam maksiat. Ketiga: memperbaiki kualitas amal kita dengan ilmu, ikhlas dan mengikuti ajaran Rasul. Keempat: fokus terhadap apa yg akan kita bawa atau wariskan (sodaqoh jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak yang sholih yang mendoakannya).
Mari penuhi akhir sholat-sholat kita dengan nafas panjang dan istighfar. Bermuhasabah, menengok dengan hati dan pikiran, tentang rumah rumah masa depan kita kelak. Menyadarkan diri bahwa usia dan kematian menjadi sedemikian dekat, sementara kita belum cukup ‘berdandan’ untuk pertemuan dengan-Nya. Mencoba memahami, betapa Tuhan telah meninggalkan pesan cinta, sebuah nasehat berharga yaitu kematian orang-orang terdekat.
Lalu tutup dengan permohonan penuh harap akan khusnul khotimah. Smoga Allah memasukkan kita ke dalam hamba-hamba-Nya yang di seru dengan seruan, “Yaa ayyatuhannafsul muthmainnah irji’i ilaa Robbiki rhodhiyatan mardhiyyah fadkhuli fii ‘ibaadi wad khulii jannati”.
Bila waktu tlah memanggil, teman sejati hanyalah amal.
Bila waktu telah terhenti teman sejati tinggallah sepi
(Bila Waktu Tlah Berakhir-Opick)
(Sumber: Majalah Hadila Edisi Juni 2014)